Habis Rendra, Terbitlah Pringadi

oleh: Kasman Daeng Matutu

“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu, keridlaanmu menerima segala tiba, tak kutahu setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertakhta”, bait-bait puisi Nisan yang diguriskan oleh si Binatang Jalang, Chairil Anwar kembali terngiang bukan hanya di gendang telinga namun pun di lubuk hati.

Berita duka bertandang mengaduk-aduk kalbu, begitu berat rasanya untuk percaya Si Burung Merak W.S. Rendra dimakamkan, 7 Agustus 2009. Rendra pergi dengan jejak yang membekas dalam pada dunia kesenian negeri ini melalui puisi-puisi yang bernas, puisi-puisi yang tak akan pernah dibekukan oleh tafsir.

Tentulah sebagai sebuah teks, setiap puisi akan tetap punya potensi untuk membeku karena tafsir yang memenjara. Keadaan ini juga menjadi ancaman latent bagi puisi-puisi Rendra yang begitu kaya dengan rasa kreativitas. Kreativitas yang meletupkan keluh, kreativitas yang memaparkan gelisah.

Suatu kali, Adrian Mitchell pernah bersabda bahwa “Kebanyakan orang melupakan puisi karena kebanyakan puisi melupakan orang”. Nampaknya Rendra sudah mahfum dengan hukum ini, sehingga puisi-puisi yang dibuatnya sangat hati-hati dalam melupakan orang, Rendra berusaha keras membuat puisinya terhindar dari kelupaan.

Ikhtiar Rendra untuk membuat puisi-puisinya abadi, berangkat dari karakter kreativitasnya yang memang bermuara dan berakar pada tetek-bengek orang kebanyakan. Rendra dengan sadar memilih untuk membahasakan manusia dan mempuisikan kehidupan. “Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada kehidupan”, ujar Rendra suatu kali.

Ketika kemudian Rendra beranjak pergi selamanya, tanya bergayut di kebimbangan hati, akankah ada lagi penyair yang kan senantiasa bertanya tentang hidup pada kehidupan melalui karya-karyanya? Akankah lahir generasi yang tetap menghargai puisi sebagai sebuah jalan, titian menuju yang ganjil, yang misterius dan yang fantastis dalam kehidupan?

Tanya itu terjawab ketika tepat sebulan terkuburnya jazad Rendra, sebuah antologi puisi tunggal Pringadi Abdi Surya yang dilabelinya Alusi hadir. Gumpalan-gumpalan aksara yang dipahat Pring --demikian sapaan tak resminya--, disimpulnya dalam dua ikatan, Everything is (not) Alright dan Love Lesson.

Membaca Alusi serasa berlayar di lautan kata-kata yang penuh dengan karang terjal bergumpal-gumpal aksara. Kadang, seperti membaca keheningan, liris-lirisnya yang terkesan lirih, memunculkan makna-makna berdenting, menyayat-nyayat sunyi. Kadang pula seperti mencanda kebingaran, bait-bait yang ramai, ibarat riangnya pesta.

Hal yang menggembiarakan hati adalah, Pringadi yang baru menapak usia 21 tahun pada 18 Agustus kemarin telah berani bertanya pada kehidupan --sebagaimana Rendra, tentang ketimpangan yang dia saksikan. Sebuah pertanyaan terbuka tentang ketimpangan hidup yang disaksikannya, berkali-kali Pring ajukan dalam beberapa puisinya.
Seperti gugatan Pring terhadap siaran sebuah stasiun tivi yang menggunakan tukang Bajaj daripada tukang becak untuk menggambarkan penderitaan masyarakat bawah,
……….
Pulang ke rumah
Aku bertanya
Kenapa cuma Bajaj Bajuri
yang ada di televisi

bukan becak Mang Toha
yang sudah mengayuh
sekuat tenaga?

(Di Sini Ada Bajaj)


Bahkan, di tempat lain dalam Alusi-nya, Pring dengan berani menyindir penguasa,
……….
ayat keempat:
tak berlaku ketiga ayat
sebelumnya: bumi, air, dan
kekayaan alam lainnya bebas kita
eksploitasi, bebas kita kuasai dan
kita jual ke luar negeri

biar tak sibuk kita nanti

(Menyoal Ayu)


Keberanian Pringadi seperti menjawab John F. Kennedy yang mengungkap bahwa, “tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan pada keterbatasannya. Tatkala puisi menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya”.

Terhadap orang-orang yang pongah dan lupa akan keterbatasan diri, salah satu puisi Pringadi mengingatkan dengan cukup keras,
……….
dia tak lagi shalat dan bayar zakat, dia
lupa ceramah masa kecil tentang akhirat
dan pertimbangan segala manfaat

“orang yang paling baik adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”
(sprinter)


uk mereka yang tak lagi memiliki ruang kepedulian yang luas terhadap sesamanya manusia, Pringadi mengajukan puisinya untuk mengingatkan mereka,
……….
Aku melipat puisi saja
Kelak ku kirim ke politisi
Biar tak lupa diri

Aku melipat puisi saja
Kelak ku kirim ke pengusaha
Biar tak lupa berderma

(Origami)


Dan sebagaimana kegelisahan serta fanatisme anak muda terhadap penderitaan orang lain, puisi-puisi Pringadi pun berkecambah dari kubangan yang sama. Tumbuh dari semangat perlawanan terhadap praktek-praktek kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara yang korup dan penuh manipulasi. Namun sebagai seorang penyair, Pring tidak memilih jalanan sebagai tempat perjuangannya, melainkan puisi.

Buat para penguasa korup, Pringadi dengan lugas mengancam,

tuhan, tuhan, tuhan
boleh aku mendoakan
selain hidayah dan inayah
kepada beliau-beliau yang tega
menjadi pemerintah?

(Siti)

Sebagai penyair baru dengan usia yang masih belia, Pringadi memiliki bekal waktu yang cukup untuk makin mematangkan kepenyairannya. Modal lain, seperti ungkap Hasan Aspahani, Pringadi merupakan seorang penulis puisi yang lancar, intens tetapi juga santai. Selain itu, Hasan melihat Pringadi akan lekas menjadi dan menemukan dirinya sendiri karena dia tidak mengelak-elak dan mencoba mengepas-ngepaskan sajaknya dengan sajak orang lain.

Ya, seperti apapun Pringadi nanti, tapi kehadirannya dengan Alusi-nya disaat dunia puisi kita kehilangan Rendra adalah sebuah kehadiran yang ibarat kelahiran, penuh dengan harap yang membuncah dan degup gairah yang meletup akan lahirnya generasi baru penyair Indonesia yang akan menyemarakkan dunia kesenian bangsa ini.

Comments