Seusai Membaca Aan

Jika Mungkin Kau Sempat, Setelah Lewat Sebelas Tahun Kematian Kau, Menghadiri Undangan Konser Perayaan Kelahiran Kau (Sekaligus Kematian Kau) Yang Aku Catat Di Kalender Dan Buku Harian Aku Yang Aku Bawa Kemana-mana, Sambil Mengingat-ngingat Kau, Menyebut-nyebut Kau: Di Jalan-Jalan, Spanduk, Poster, Dan Iklan-Iklan Di Tivi Yang Semakin Sering Aku Tonton, Mungkin Juga Kau, Menyaksikan Aku Menonton Nama-Nama Kau Yang Sudah Kau Tanggalkan --- Kau Tinggalkan

aku akan tiba-tiba ada di tivi itu jadi penyanyi menyanyikan kau, mengumandangkan kau
dengan lantang, dengan air mata yang berlinang sambil memegang mike hadiah dari kau dulu yang kusimpan di lemari aku - tak pernah aku pakai karena aku takut akan teringat kau

mungkin juga kau akan teringat dengan kisah aku dan kau, yang juga menyebut-nyebut kau dengan mike yang bukan pemaberian kau, sebelum aku tanpa sengaja membunuh kau, membunuh nama kau

dan hari ini, di hari setelah lewat sebelas tahun kematian kau, aku menyertakan kau dalam daftar undangan dengan nama kau yang tak pernah kau kenakan. dengan nama kau yang berbeda dari sepengetahuan kau, yang aku tandai hati-hati di kelingking sebelah kiri.

***

MEMBACA Aan tidaklah mudah. Lakon Aan, adalah sesuatu yang menuntutmu minimal harus mengenal sosoknya. Mengenal trackrecord hidupnya untuk memahami kemana kata-katanya mengacu. Apa yang dia baca dan dia lalui, setidaknya kau juga harus tahu. Dan karena itulah, aku minta maaf, dengan kapabitilas aku yang terbatas, aku setengah nekad hendak membaca Aan, juga sembari melepaskan kerangkeng hasil pembacaan telaah Nurhady terhadap Aan.

Aan sering mengungkapkan tentang kepala dan dada terhadap konsep sajak-sajak berjudul panjangnya ini. Tapi aku tidak mau berbicara itu. Aku ingin berbicara tentang apa yang ada di antara kepala dan dada, yaitu leher. Leher dimana kau menelan makanan. Dimana pitasuaramu tersimpan, dan bagi kau yang laki-laki, ada jakunmu di situ. Jakun yang sekaligus merupakan salahsatu indikasi kelaki-lakianmu. Dan dengan leher ini, aku bercerita (dengan caraku sendiri).

***

Aku, entah kenapa, memilih untuk memulai pembacaan (dengan serius) di sajak yang akhir. Ada semacam pernyaaan conditio sine qua non si di sajak ini, “Jika Mungkin”. Pernyataan “if/jika” adalah paradoks, dan dipadukan dengan “mungkin” melahirkan negasi “Tidak Mungkin”. Tapi apakah “mungkin” di sini bersifat probable, possible, atau may be? Ini menuntut pembacaan untuk kembali ke sajak-sajak sebelum ini, sajak-sajak sebelum pernyataan “jika” yang menjadi awal mula dari akhir (jika kau ingin menganggapnya awal pun bolehlah)

Atau Kelelahan Sambil Mencurigai Kau
Sebetulnya Mati Bunuh Diri
Seusai Mencuri Nama Aku Dan Seluruh
Persediaan Nama Untuk Masa Di Depan Aku
(Potongan Judul Sajak #21)


TIBA-TIBA aku teringat pada komiknya Urasawa Naoki, “Monster”. Ada bagian yang menarik tentang “A Nameless Monster”, buku cerita bergambar yang dikarang oleh Frans Bonaparta. Di komik ini, “A Nameless Monster” turut melahirkan tokoh utama yang merasa dirinya tak punya nama. Ia menjadi sebuah nama yang ditemukannya, atau dirampasnya dari nama-nama yang dia temui. Nama-nama yang menurutnya cocok untuk kelangsungan hidupnya.

Ia yang tak punya nama itu memiliki penyesalan yang mendalam di hati ia karena ia sendiri tak sadar kenapa ia harus merampas nama-nama. Dan ‘Kau’ yang ia ceritakan di awal adalah sebuah prosesi hilangnya nama yang baru saja ia rampas (dengan terpaksa) yang kemudian ia imajinasikan sendiri kisahnya. Sebab ia tak mau jadi terdakwa, atau bahkan mungkin tersangka dari kejahatan yang dilakukan ia (ini tentu jika kau juga menganggap perampasan nama adalah sebuah bentuk kejahatan).
Ia mencatat nama-nama yang pernah dipakainya (dan lalu ditangalkannya). Mengumpulkannya di sebuah perpustakaan, dimana nama-nama harus menjadi kenangan. Kenangan yang tak mau ia simpan di diri ia sendiri. Biar orang lain saja yang tahu, jika (lagi-lagi jika) orang lain itu dengan beruntung suatu hari, menemukan perpustakaan milik ia.

Tapi suatu hari itu menjadi ‘kelak’. ‘kelak’ yang cuma ada di dalam pikiran ia. ‘kelak’ yang ia sendiri tahu tak akan ada selama ia masih ada.

Ia pun bermimpi menjadi “Kira”, tokoh di komik Deathnote yang mahsyur itu. Ia meramalkan kematian. Tepatnya merencanakan kematian. Kematian Kau, nama-nama Kau. Setidaknya itu yang aku baca di sajak #5. Ia (‘Aku’ di sajak tersebut) lagi-lagi mencerminkan diri yang tertekan dan ia berhalusinasi. Ia merasa orang-orang di sekitarnya masih ada. Padahal semuanya sudah ia rampas namanya. Ia rampas karena ia takut, ia sendiri takut lakon perjalanannya diketahui oleh orang-orang terdekatnya. Makanya ia bunuhi saja mereka. Bunuhi nama-nama mereka.

Setiap tahun, ia merayakan kematian (sekaligus kelahiran) dari nama-nama itu. Dan di tahun kesebelas, ia merasa bosan. Seperti tokoh dalam komik monster itu, ia merencanakan adegan terakhir. Makhluk yang masih mempunyai nama akan saling bunuh. Akan saling curiga, takut dirampas namanya. Dan ia akan berdiri memulai dunia, dengan dirinya sendiri yang memiliki nama. Nama yang kemudian ia sendiri sadari, tak ada nama-nama yang abadi.

Comments