Abstraksi dari: Fetus Logika dan Kontingensi Sejarah dalam Alusi
Setiap orang punya ingatan, ingatan dari nama-nama atau peristiwa-peristiwa yang mereka ketahui dari bacaan, tontonan, dan media lain yang menjadi asupan informasi. Ingatan-ingatan ini secara sadar atau tidak, kadang, menjadi dasar pemikiran dan tindakan, menjadi falsafah dan pedoman, atau sekadar menjadi kutipan dari pembicaraan-pembicaraan yang kerap terjadi di kehidupan sehari-hari. Dan alusi adalah sebuah gaya bahasa yang mewakili ingatan-ingatan itu. Ia (alusi) adalah sebuah acuan, kerangka dari simbol-simbol yang membawa penceritaan tersendiri. Penceritaan ini membawa alur yang runut, yang menuntut pembacanya untuk tahu kisah atau sejarah di balik simbol yang termaktub di dalam sebuah karya. Ia seperti perkawinan antara parafrase, metonimia, dan metafora dalam ruang lingkup ilmu dan dogma, bahwa seni (khususnya sastra) sangat menuntut pembacaan ke belakang. Kehadirannya adalah untuk menghubungkan masa lalu yang jauh dengan masa depan yang jauh dengan berada di posisi ekuilibrium yang netral. Kenetralan ini hadir dalam bentuk aku-puisi yang lepas dari penulisnya, meski pengetahuan dan kapabilitas masukan penulisnya berperan total di sini. Akan tetapi, alusi menghadirkan logikanya sendiri. Logika yang nantinya akan membebaskan para pembacanya untuk menafsir dan menelaah ada apa-apa saja di balik rangkaian kata-katanya. Kebebasan tafsir ini disebabkan oleh layer yang dibuat alusi ---sebagai gaya bahasa--- dalam kaitannya dengan kedekatan pembaca dengan simbol-simbol yang terbawa. Maka pembaca, sesuai tingkatan kedekatannya, akan berbeda dalam “membuka” layer-layer tadi untuk tahu wujud atau tubuh sebenarnya dari alusi.
Comments