Asmiranda(h)
Aku lebih suka Asmiranda ketimbang Nikita Willy. Sungguh, mungkin aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya.
Tapi, kautahu, aku lebih memilih mati ketimbang Asmiranda sekalipun. Asmiranda memang cantik dan indah untuk dinikmati. Tapi mati lebih nikmat bukan? Aku akan kehilangan semua beban? Aku akan kehilangan segala keangkuhan? Tidakkah kau berpikir sama?
Tapi, sebelum mati, aku ingin bercinta dulu dengan Asmiranda. Sebab aku masih perjaka. Aku ingin tahu rasanya kawin sebelum aku mati. Sebab katanya kawin itu nikmat. Apalagi dengan Asmianda, yang cantik itu. Putih kulitnya. Mancung hidungnya. Dan bibirnya. Ah, aku tak tahan jika aku membayangkan bibirnya yang tampak lembut itu. Setidaknya untuk kukecup.
...
Asmiranda. Semalam aku bertemu dengannya di alam mimpi. Tapi kami tidak bercinta sampai pagi. Kami hanya berkenalan, sebatas nama, setelah itu aku katakan padanya: aku ingin mati. Dia tidak bertanya kenapa. Tapi aku bilang untuk kedua kalinya: aku ingin mati. Sempat berpikir apakah Asmiranda itu tuli. Ah tidak, cantik-cantik tak mungkin Tuli. Asmiranda adalah sosok sempurna, setidaknya di mataku.
Asmiranda memanggilku lagi malam ini, tentu saja di dalam mimpi. Rindu katanya. Rindu dengan cerita-ceritaku yang ingin mati. Tapi dia masih diam saja. Tak menanggapi secara berarti. Bukan berarti aku bosan bercerita. Aku teruskan ceritaku padanya, aku ingin mati karena aku sudah merasa cinta itu tak berarti. Tak ada lagi wanita yang bisa dipercayai. Tak ada lagi tempat bagiku untuk bisa meletakkan setengah jiwaku yang sudah sekarat ini. Anehnya dia malah tersenyum. Dan aku menunggunya untuk berkata-kata sesuatu, menanggapiku. Tiba-tiba ia hanya bilang rindu dan menyuruhku untuk datang esok malam. Karena sekarang telah mendekati pagi. Aku harus pulang katanya.
Aku sudah hafal alamatnya di dunia mimpi. Ini sudah malam ketiga. Akhirnya dia bercerita. Asmiranda juga ingin mati. Sama sepertiku. Aku bilang jangan. Asmiranda tidak boleh mati. Akan banyak lelaki yang sedih hatinya. Murung harinya. Sebab Asmiranda adalah matahari bagi kami, penggemarnya, yang akan selalu bersinar setiap hari. Asmiranda menangis malam itu. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia ingin mati. Aku tidak berani bertanya itu. Aku hanya bisa mendekapnya. Dia pun membalas dekapanku. Tiba-tiba aku tak bisa menahan hasratku mengecup bibirnya itu. Dia tidak menolak. Dia membalas kecupanku. Sampai aku tak tahu lagi harus berkata apa, kami menikmati malam itu. Benar-benar menikmati malam itu. Sampai pagi.
...
Tetapi, kami menikmatinya sampai terlalu pagi. Aku telat pulang. Ketika di depan pintu kulihat televisi, berita selebriti. Asmiranda mati. Kautahu, Asmiranda mati! Dan aku mendengar isak tangis di rumahku. Tepatnya dari kamarku, aku melihatku ditangisi. Kautahu, aku juga mati. Aku benar-benar mati.
(Tapi tak apa lah, setidaknya aku tahu rasanya kawin, dengan Asmiranda pula.)
Tapi, kautahu, aku lebih memilih mati ketimbang Asmiranda sekalipun. Asmiranda memang cantik dan indah untuk dinikmati. Tapi mati lebih nikmat bukan? Aku akan kehilangan semua beban? Aku akan kehilangan segala keangkuhan? Tidakkah kau berpikir sama?
Tapi, sebelum mati, aku ingin bercinta dulu dengan Asmiranda. Sebab aku masih perjaka. Aku ingin tahu rasanya kawin sebelum aku mati. Sebab katanya kawin itu nikmat. Apalagi dengan Asmianda, yang cantik itu. Putih kulitnya. Mancung hidungnya. Dan bibirnya. Ah, aku tak tahan jika aku membayangkan bibirnya yang tampak lembut itu. Setidaknya untuk kukecup.
...
Asmiranda. Semalam aku bertemu dengannya di alam mimpi. Tapi kami tidak bercinta sampai pagi. Kami hanya berkenalan, sebatas nama, setelah itu aku katakan padanya: aku ingin mati. Dia tidak bertanya kenapa. Tapi aku bilang untuk kedua kalinya: aku ingin mati. Sempat berpikir apakah Asmiranda itu tuli. Ah tidak, cantik-cantik tak mungkin Tuli. Asmiranda adalah sosok sempurna, setidaknya di mataku.
Asmiranda memanggilku lagi malam ini, tentu saja di dalam mimpi. Rindu katanya. Rindu dengan cerita-ceritaku yang ingin mati. Tapi dia masih diam saja. Tak menanggapi secara berarti. Bukan berarti aku bosan bercerita. Aku teruskan ceritaku padanya, aku ingin mati karena aku sudah merasa cinta itu tak berarti. Tak ada lagi wanita yang bisa dipercayai. Tak ada lagi tempat bagiku untuk bisa meletakkan setengah jiwaku yang sudah sekarat ini. Anehnya dia malah tersenyum. Dan aku menunggunya untuk berkata-kata sesuatu, menanggapiku. Tiba-tiba ia hanya bilang rindu dan menyuruhku untuk datang esok malam. Karena sekarang telah mendekati pagi. Aku harus pulang katanya.
Aku sudah hafal alamatnya di dunia mimpi. Ini sudah malam ketiga. Akhirnya dia bercerita. Asmiranda juga ingin mati. Sama sepertiku. Aku bilang jangan. Asmiranda tidak boleh mati. Akan banyak lelaki yang sedih hatinya. Murung harinya. Sebab Asmiranda adalah matahari bagi kami, penggemarnya, yang akan selalu bersinar setiap hari. Asmiranda menangis malam itu. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia ingin mati. Aku tidak berani bertanya itu. Aku hanya bisa mendekapnya. Dia pun membalas dekapanku. Tiba-tiba aku tak bisa menahan hasratku mengecup bibirnya itu. Dia tidak menolak. Dia membalas kecupanku. Sampai aku tak tahu lagi harus berkata apa, kami menikmati malam itu. Benar-benar menikmati malam itu. Sampai pagi.
...
Tetapi, kami menikmatinya sampai terlalu pagi. Aku telat pulang. Ketika di depan pintu kulihat televisi, berita selebriti. Asmiranda mati. Kautahu, Asmiranda mati! Dan aku mendengar isak tangis di rumahku. Tepatnya dari kamarku, aku melihatku ditangisi. Kautahu, aku juga mati. Aku benar-benar mati.
(Tapi tak apa lah, setidaknya aku tahu rasanya kawin, dengan Asmiranda pula.)
Comments