Sajak-Sajak Pringadi Abdi Surya di Kompas.com 27 Maret 2011

Daun Jendela

Ia berharap ada yang membukanya setiap pagi
dan seekor burung gereja yang tersesat
bertengger ramah di punggungnya. Engselnya
yang berkarat masih begitu kuat menahan
ketukan-ketukan angin di tiap malam sebelumnya.
Dulu, ada kutilang yang berkandang di dekatnya.
Kutilang yang sering bernyanyi dan belum belajar
cara membuang kotoran. Ternyata, nyanyian
kutilang pun tak sanggup menahan kematian.

Ia tahu, di luar sana, udara semakin berat.
Dan mahahebat Tuhan yang menjinjing matahari.
Sesekali, ia melirik ke dalam kamar, dan
membuang suar lampu yang belum dipadamkan.
Seorang laki-laki tengah mendengkur
dan beradu sakti dengan jam waker.



Ceritanya tentang Jambu Bangkok

Pohon jambu bangkok di pekarangan rumahnya sedang musim-musimnya. Ada yang masih pentil, berwarna hijau tua. Ada juga yang sudah dibungkus kantung kresek, kira-kira seukuran bola tenis. Ia tahu, tiap saat ia harus berjaga dari ulat dan segerombolan anak yang lewat saat pulang sekolah. Ia bersembunyi di balik jendela, di balik semak, kadang memanjat pula di pohon sawo dekat kolam yang bocor itu.

Sesekali, ia pun bisa menyamar jadi kupu-kupu.


Kandang Ayam


Tiap sore, ia harus berebut dengan senja
yang suka menyembunyikan ayam-ayamnya
di dahan pohon jambu atau pagar tetangga.

Pur, dedek, maupun berondolan jagung itu
tetap tak mempan merayu para ayam
agar mau kembali ke kandang. Ia mengira
mungkin karena kandang ayamnya yang
sudah lapuk, tua, dan tak bisa
menangkal hujan saban malam.

Ia lupa, ayam terlahir rabun senja.

Dan mati pun,



Kwatrin Sempurna tentang Tubuhku

Datanglah ke tubuhku, pekarangan dengan semak bunga
Asoka yang tak pernah berhenti mekar dan rerumpun daun
Suji yang mengucapkan salam kepada lelaki bijaksana,
Datanglah tanpa ragu, tanpa menunggu Tuan dan tahun.

Kwatrin tentang Cium

Jejak bibirku di sana, jangan sekali-kali kau hapus.
Cinta adalah kecupan pertama, Sayang, didaratkan dengan
Lembut dan hati-hati. Bukankah cukup begini—Sisyphus
Terlalu bodoh menanggung dosa dengan nama pengorbanan?


Di Pelataran Parkir

Ia mencoba menghitung jumlah daun gugur di pelataran parkir itu. Setiap hitungan keempatpuluhlima, ia menangis tersedu. Dan mengelap air matanya itu dengan lengan bajunya. Ia tidak yakin pada hitungannya lalu memulai kembali dari awal. Angin bertiup. Daun-daun renta beterbangan di atasnya. Air matanya makin tumpah, sehelai daun muda tergolek tak bernyawa di samping volvo berplat merah.


Tak Ada Puisi di Bola Matamu

Ia duduk di halte, menunggu bus terakhir yang akan mengantarkannya ke bola matamu. Langit mendung, sebentar lagi hujan. Diliriknya jam di tangan kanannya, belum berubah juga. Waktu masih dua puluh empat jam adanya.

Ia paham, kesunyian seperti tiang listrik yang tegak, ditempeli poster-poster konser, kampanye, pengumuman anak hilang, iklan, slogan, dan tak pernah ada puisi.


Pareidolia

Ia membayangkan awan itu akan membentuk wajahmu. Dilihat-lihatnya sebentar, awan sudah jadi kuda yang lari dari kereta kencana. Ia mengucek matanya, mendadak kuda berubah jadi seorang wanita, tetapi bukan dirimu.

Ia tahu cinta tak semestinya dibumbui perselingkuhan.


Sajak Cinta Biasa #2

Cintaku sebatang rumput, tumbuh di antara trotoar itu.
Berhatilah-hatilah, wahai, pejalan kaki. Aku tidak mau mati,
Terinjak oleh sandal jepit, bahkan sepatu kulit.
Cintaku Sebatang rumput, siapa bilang tak akan mekar?


Di Kamar

Ia berbaring di atas ranjang, membiarkan tubuhnya dimakan terang lampu. Ada yang bersalah tiap detik yang didengarnya dari jam dinding itu. Cinta tak semestinya diselimuti kebohongan. Ia memejamkan mata, suara air kolam di luar malah membanjiri benaknya. Dilongokinya tempat tidur, potongan-potongan kapur itu masih ada.



PRINGADI ABDI SURYA. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Sekarang sedang bekerja di Ditjen Perbendaharaan Negara. Bukunya berjudul ALUSI (Pusataka Pujangga, 2009) dan kumpulan cerpen Dongeng Afrizal (Kayla, 2011). Tergabung di KOSAKATA (Komunitas Sastra Kota Jakarta). Twitternya: pringadi_as

Comments