Puisi-Puisi Goenawan Muhammad

Yang Tak Menarik dari Mati
Yang tak menarik dari mati
adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.
Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.
2012
Di Antara Kanal
Jarimu menandai sebuah percakapan
yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong dan gelas sauvognon blanc
yang akan ditinggalkan.
Di kiri kita kanal menyusup
dari laut. Di jalan para kelasi
malam seakan-akan biru.
“Meskipun esok lazuardi,” katamu.
Aku dengar. Kita kenal
kegaduhan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yang sebentar.
Seseorang pernah mengatakan
kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.
Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
“Kota ini,” katamu, “adalah jam
yang digantikan matahari.”
2012


Tentang Maut
Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.
Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.
Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya
di ujung gang dan berjalan tak menentu.
Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit yang meluap.
Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.
Atau hampir putus.
2012

Di Mercusuar
Berdirilah di sudut, katamu.
Raba tembok tua itu.
Di dekat pigura yang tergores pisau,
tertulis “1927”.
Siapa tahu kita akan tenang dengan ruang yang dihuni waktu: pintu kayu besi yang dibalur lumut, engsel yang digerus asin laut, gambar dua mendiang presiden pada dinding….
Mungkin mercu ini akan melindungi kita
dari hal-hal yang berarti,
dengan tamasya yang minimal.
Seorang penjaga pernah menuliskan
satu kalimat di langit-langitnya,
“Cahayaku memberikan segalanya ke samudera.”
Kita belum tahu siapa yang pernah di sini, adakah kita tamu di sini.
Tertahan di sepetak pulau, kita bisa juga betah dengan sebungkah karang
dan seonggok tanggul yang membiasakan diri kepada pasang – seperti semak
jeruju kering di utara yang tak jauh itu yang hampir hanyut, tapi selalu
menemui ombak.
Aku tak bisa jawab
apa yang akan lenyap
dan yang tiba
kelak.
Apa yang dicatat,
apa yang diingat?
Apa yang disimpulkan?
Jangan-jangan di mercu ini kita akan juga bikin sejarah, kataku.
Barangkali, jawabmu, tapi jangan cemas, sejarah hanya sebentuk origami,
kisah yang tersusun dari ingatan,
lipatan yang tak dijahit mati, camar kertas yang terbang diguncang angin
dan dipercakapkan dari jauh.
Kita juga yang kemudian membayangkan arahnya.
Menakjubkan bahwa kau begitu sabar.
Ah, berdirilah di sudut, jawabmu,
dan lihat: laut tak menginvasi.
Dari mercu ini kita akan mencoba mengerti badai
ketika langit tak bisa diharapkan.
**
Pada debur ombak berikutnya,
aku terkantuk dengan mimpi yang tipis:
Sebuah jung. Deretan layar malam.
Dua orang di buritan
yang tak tahu mereka di mana.
“Tapi kita bahagia,”
kata salah seorang di antaranya.
Sebenarnya mereka berharap
ada seseorang yang di bandar menantikan.
Tapi anak yang tertidur di dermaga dengan kostum kapas itu mengigau,
tak memanggil….
Ketika aku terbangun, angin meraung.
Di dinding kulihat bayang kita yang bongkok sedikit
dan Ajal yang bergerak
seperti siluet tangan seorang anak.
Barangkali di pucuk mercu suar ini
telah diterakan sepasang inisial –
nama yang akan lama tinggal
nama yang mati;
nama kita yang mati.
2013
Koran Tempo, 20 Januari 2013

Comments

seneng banget bisa menemukan bait bait Goenawan Muhammad... ada rasa desir membaca beberapa diksinya... semoga akan ada tentang tulisan Seno ^^v