Catatan Hati: Harapan Orang Tua
Saya masih selalu merasa takjub bila melihat Hanna. Ia kini telah berusia tujuh bulan lebih. Mengingat bobot tubuhnya yang hanya 1,6 kg saat baru lahir, seringkali kami merasa was-was dalam menjaga Hanna. Dua kali ia jatuh menggelundung dari tempat tidur, berkali-kali kami membawanya ke dokter karena khawatir. Saya terutama memang tidak percaya pada dokter-dokter di Sumbawa Besar (bisa dibaca di sini). Setelah tiga kali dinyatakan tidak apa-apa, barulah saya merasa sedikit lega.
Sampai sekarang, Hanna masih sering disangka bayi berumur 4-5 bulan karena bobotnya yang mungil. Terakhir ditimbang, ia berbobot 6,2 kg. Kadang-kadang ingin melihat dia gemuk, banyak makannya meski kenyataan berkata Hanna sangat sulit memakan makanan pendamping. Ia tidak suka susu formula, dan sangat tergantung mood untuk makan bubur bayi. Ia hanya suka ASI dan itu pun dengan berbagai gaya semisal nendang-nendang, meremas sesuatu, dikipas-kipas barulah bisa tenang.
Zane suka menyalahkan saya karena memberi nama Fariishta Hanna Diza. Memang saya niatkan, pemberian nama dengan huruf dobel secara survei akan menghasilkan watak yang tegas dan keras. Nyatanya begitulah Hanna. Dia begitu suka mengemut tangan. Kalau dilarang, tangan satunya akan masuk ke mulut. Kalau dua-duanya ditahan, kepalanya yang akan mendekati tangan-tangan dengan ngototnya. Dua kali di jatuh itu karena mengejar handphone di tepi kasur. Padahal saat itu dia baru bisa tengkurap dan sudah dihalangi bantal. Tetapi tak tahu bagaimana cara jatuhnya. Tahu-tahu dia sudah di bawah dengan menggenggam handphone.
Wataknya itu memang tak bisa ditampik bila mengingat masa kehamilan Hanna dan bakda itu. Tercatat, di dalam kandungan saja, Hanna sudah jalan dari Sumbawa Besar-Palembang-Solok selama dua kali. Dan ketika lahir, baru empat bulan dia menempuh jalan darat dari Solok bolak-balik sebelum kembali ke Sumbawa. Kadang saya bercanda dengan Zane, bayi mana coba yang sudah melakukan perjalanan sejauh itu?
Malam-malam saat Hanna sudah tidur, kami sering membahas akan jadi seperti apa Hanna nantinya. Tetangga sekomplek, istrinya Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi, yang juga orang Minang sering serius atau bercanda (entahlah) menge-cup Hanna untuk jadi menantunya. Saya sendiri pernah membikin sebuah puisi untuknya:
: fariishta hanna diza
i.
diam-diam aku mengagumi perempuan yang tak merasai beberapa jahitan di perutnya. andailah, aku makan buah ceri yang diam-diam kucuri dari kue tart di dalam kulkas, merah--menyakitkan, terdengar suara seperti memelas, namun kuurungkan. kusarungkan belati dan kugulung kembali tali sebagai alternatif bila kemudian aku tak tahan membayangkan kehilangan seseorang yang mencuri
separuh bibirku di malam bulan Juli. ketika hujan yang tak tabah lagi itu ingin mengulang menggerogoti dadaku.
ii.
aku dan bayangan sama-sama bersepakat, kami berdua tak ingin terlibat pada wajah seperti apa hanna. bila nanti ada dingin mengepung, seorang pertapa muncul dari dalam kolam, memakai kerudung, menutupi dua benda di tangan kiri dan kanannya, sambil bertanya, apa tuhan juga bersembahyang, biarlah, perempuan berpipi tomat itu yang memilih, dan kami menutup mata, mengintip lewat jari. seperti anak-anak yang takut melihat hantu, tapi penuh rasa ingin tahu, apakah rasa takut itu dibuat atau dibuat-buat.
iii.
ketika itu gerimis terasa sangat tipis. aku dan semua kenangan masih belajar memeluk tangis.
iv.
maka, 1,6 kg itu berkembang seperti hanna. sampai suatu hari malaikat memberi kabar gembira. anak tuhan akan dikandungnya. dan anak itu akan berbicara di awal-awal kelahirannya. dan dari kata-katanya mengalir madu. dan dari madu itu berkumpul lebah. dan dari lebah itu bertebaran serbuk sari. hingga suatu lembah, menjadi padang bunga. hingga suatu padang bunga menjadi surga. dan kuberi nama surga itu, kebahagiaan. dan dari kebahagiaan itu, aku dan semua gerimis serempak menuju mata. menuju Kau.
v.
tuhanku, tuhanku, Kau tak akan meninggalkan kami.
Saya bilang kepada Zane, dunia entah akan berkembang menjadi seperti apa. Seperti namanya, Fariishta (fairish) yang berarti peri, Hanna yang berarti rahmat dan Diza yang berarti kebahagiaan--ia adalah anak yang akan terus menebarkan kebahagiaan bagi orang tuanya, bagi lingkungannya. Tidak muluk-muluk, saya hanya ingin dia menjadi insan yang memberikan manfaat terbaik sekaligus bahagia atas apa yang dilakukannya. Itu cukup.
"Tapi sepertinya ia akan jadi dokter..." tukas Zane. Mengingat ayahnya pernah didesak masuk kedokteran meski memilih ITB sebelum minggat ke STAN. Sementara ibunya tidak lulus di kedokteran dan menempuh pendidikan di Fisika ITB.
"Atau ia akan punya jiwa keilmuan seperti kita?" Kami tertawa.
Pada saat yang sama, saya termenung mengingat masa kecil saya. Kira-kira pengorbanan seperti apa yang dilakukan kedua orang tua saya itu? Praktis, saya banyak tak ingat kenangan di bawah usia 10 tahun. Mendadak air mata ingin mengalir, merasa kangen dan hendak mensujudi perempuan yang kupanggil ibu itu.
Comments