Seseorang dengan Agenda di Tubuh (Suara Merdeka, 6 Juni 2010)
[1]
Biasanya, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukannya mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi, meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarahkan kebenaran siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan, sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi menghembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.
Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah yang misteri yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan pribadi dan bahasa tubuh.
[2]
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata pertama kali. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama saya, hendaknya kamu pikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.
Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budaknya setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya dua ratus ribu dengan alasan administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, dua puluh ribu rupiah melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.
“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” Tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu… tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hatinya dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.
[3]
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.
Ibu memang suka pulang malam-malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut yang buram. Kata ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tidak tahu saya judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.
Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya soal pelajaran. Saya selalu juara kelas. Saya selalu meraih nilai-nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah di masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.
“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”
Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang. Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.
[4]
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?
Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.
Sudah hampir tujuh belas tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukannya lagi. Tetapi anehnya mereka kini menyukainya. Setiap saya tekan kaki saya di kemaluan mereka, mereka akan mendesah sambil meneriakkan slogan, “Lanjutkan, lanjutkan!” O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya
Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.
“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.
“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” ibu berkilah.
“Ah, persetan!”
Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.
Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”
Ibu diam saja.
“Apa dia ayah saya?” Tanya saya lagi.
“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda ibu dengan bayar lima puluh ribu itu!” lanjut ibu berteriak.
Saya menangis. “Kenapa ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang cuma bayar lima puluh ribu untuk mengoda ibu?”
“Ibu ini cuma pelacur, Nak…” ibu diam. Mengusap air matanya. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar… tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya. Dan saya menurut saja. Tak lama ibu menyusul dan memeluk saya sambil masih ada airmata yang basah di pipinya.
Keeseokan harinya, ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya. Katanya ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.
“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.
Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…
[5]
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?
Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban keduabelas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”
“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas.” Dia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.
“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.
“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas. Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis. Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.
[6]
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?
Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.
Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.
“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto. Foto perempuan kemarin itu.
“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.
“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik. Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.
“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya. Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.
“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diotopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.
“Sebentar…” saya ke belakang. Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.
“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.
“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”
Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.***
Biasanya, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukannya mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi, meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarahkan kebenaran siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan, sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi menghembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.
Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah yang misteri yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan pribadi dan bahasa tubuh.
[2]
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata pertama kali. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama saya, hendaknya kamu pikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.
Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budaknya setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya dua ratus ribu dengan alasan administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, dua puluh ribu rupiah melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.
“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” Tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu… tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hatinya dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.
[3]
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.
Ibu memang suka pulang malam-malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut yang buram. Kata ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tidak tahu saya judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.
Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya soal pelajaran. Saya selalu juara kelas. Saya selalu meraih nilai-nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah di masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.
“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”
Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang. Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.
[4]
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?
Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.
Sudah hampir tujuh belas tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukannya lagi. Tetapi anehnya mereka kini menyukainya. Setiap saya tekan kaki saya di kemaluan mereka, mereka akan mendesah sambil meneriakkan slogan, “Lanjutkan, lanjutkan!” O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya
Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.
“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.
“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” ibu berkilah.
“Ah, persetan!”
Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.
Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”
Ibu diam saja.
“Apa dia ayah saya?” Tanya saya lagi.
“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda ibu dengan bayar lima puluh ribu itu!” lanjut ibu berteriak.
Saya menangis. “Kenapa ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang cuma bayar lima puluh ribu untuk mengoda ibu?”
“Ibu ini cuma pelacur, Nak…” ibu diam. Mengusap air matanya. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar… tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya. Dan saya menurut saja. Tak lama ibu menyusul dan memeluk saya sambil masih ada airmata yang basah di pipinya.
Keeseokan harinya, ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya. Katanya ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.
“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.
Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…
[5]
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?
Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban keduabelas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”
“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas.” Dia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.
“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.
“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas. Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis. Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.
[6]
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?
Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.
Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.
“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto. Foto perempuan kemarin itu.
“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.
“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik. Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.
“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya. Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.
“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diotopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.
“Sebentar…” saya ke belakang. Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.
“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.
“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”
Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.***
Comments
salam kenal ya..