Djibril dan Aku

Aku benar-benar tidak berbohong. Toh, tak ada gunanya aku berbohong. Sungguh, tadi aku bertemu Djibril sedang menyunyikan dirinya di tepi bukit sebelah Timur. Ia, dengan jubah putihnya, memandang langit dengan gamang – mengucap mantra-mantra yang tak bisa kupahami artinya. Kira-kira lima menit ia terus begitu. Setelah itu, ia tampak memilin sesuatu yang tak begitu jelas kulihat. Sampai ia mengulum pilinan itu dan asap-asap berbentuk lingkaran mengepul dari mulutnya itu. Ya, aku baru sadar bahwa Djibril juga seorang perokok!

Kau tak percaya padaku?

“Keluarlah, jangan terus bersembunyi,” katanya pelan. Aku jelas kaget. Aku takut. Aku, ah entah. Dengan langkah kaki ragu-ragu kudekatkan diriku padanya. Toh, aku pasti tidak akan bisa melarikan diri. Kautahu… dia malaikat! Bisa terbang, bisa muncul tiba-tiba dihadapanku jika ia mau. Setan-setan saja digambarkan begitu, apalagi malaikat. Pasti lebih itu…

“Jangan takut padaku. Aku bukan Izrail, tidak akan mencabut nyawamu,” katanya sambil tersenyum – tenangkan hatiku.

Aku masih hanya bisa diam.

“Kau merokok?” tanyanya lembut.

Aku menggelengkan kepalaku.

Kepulan asapnya membuatku terbatuk; ia tertawa.

“Darimana kautahu aku ini Djibril?” tanyanya lagi.

Aku diam, masih sedikit takut. Djibril masih asik menghisap rokoknya kemudian menatapku dengan tatapannya yang teduh.

“Hanya Djibril yang sering turun ke bumi, begitu kisah-kisah yang aku tahu,” jawabku memberanikan diri.

Djibril tertawa, “Iya, bisa dibilang… aku pengangguran sekarang. Tak ada lagi tempat yang bisa kusampaikan wahyu. Telah habis kisah kenabian.” Dia mendesah. “Atau kau mau menjadi nabi selanjutnya?” tanyanya dengan nada sedikit bercanda.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Tapi seringkali aku difitnah… “ desahnya lagi.

“Maksudmu?”

“Kautahu… beberapa orang di negaramu ini ada yang mengaku mendapatkan wahyu dariku. Atau bahkan mengaku aku. Kalau aku Izrail, sudah kucabut
nyawa mereka dengan cara yang paling menyakitkan.”

Aku menganggukkan kepalaku tanda setuju.

“Kau benar-benar tidak merokok?” tanyanya untuk kesekian kali.

Aku kembali menggelengkan kepalaku. “Rokok tak baik untuk kesehatan,” jawabku pelan.

“Ya, kalau mau aku akan buatkan. Ini bukan tembakau biasa. Ini tembakau surga. Rasanya lebih nikmat dari kretek murahan yang dijual di pasaran. Toh aku tetap sehat meski aku merokok.”

“Mungkin anatomi fisiologi tubuhmu beda.”

Djibril tertawa.

Aku juga (akhirnya) tertawa.

….

Dan kautahu, itu bukan pertemuanku terakhirku dengannya. Sabtu kliwon, purnama bulan berikutnya, lagi-lagi aku tak sengaja bertemu dengannya. Djibril menyamar menjadi manusia. Tapi tentu wajahnya aku kenal. Ia sedang asik bergoyang di diskotik ternama. Kau pasti bertanya kenapa aku bisa berada di tempat itu. Kautahu, aku diajak ke Jakarta oleh anak tetangga untuk mencari kerja. Bagaimana aku tak tergiur, satu tahun ia bekerja, pulangnya sudah membawa mobil baru. Tentu tak kutolak tawarannya. Mungkin nasibku bisa sebaik atau lebih baik dari dia.

Hari pertama ia membicarakan surga ibukota. Dan malamnya aku ikuti ajakannya ke sini, ke tempat keduakalinya aku bertemu dengan Djibril. Aku baru tahu bahwa yang disebut surga itu adalah tempat remang-remang dengan penghuni mayoritas wanita yang disebutnya bidadari, dengan pakaian seadanya: tonjolan-tonjolan dada yang mengundang hasrat dan lautan paha yang diumbar memancing syahwat. Aku tidak, atau belum, terbiasa dengan surga yang seperti ini. Sebab kata orangtuaku dulu, surga itu adalah tempat suci dengan sungai-sungai madu mengalir di dalamnya. Tapi, yang ada di sini – meski nyaris berwarna sama seperti madu – adalah minuman dengan aroma yang menyengat.

“Kau tidak minum?” Djibril bertanya padaku sambil meneguk minuman itu.

“Apa ini?”

“Alkohol. Kau tak tahu?”

Aku menggeleng.

“Kitab suci menyebutnya ‘Khamr’ atau ‘sesuatu yang memabukkan’.”

“Bukannya itu diharamkan?” tanyaku padanya.

“Tadinya tidak…” ia berhenti sejenak – bersendawa. “Ini minuman favorit malaikat.” Dan ia tertawa. Entah apa yang ditertawakannya.

“Kau sudah mabuk.”

“Aku? Mabuk? Tidak mungkin.”

“Kenapa kau di sini? Jangan bilang bahwa kau sudah jenuh jadi malaikat.”

“Ini minuman favorit malaikat! Bukannya tadi aku sudah mengatakannya kepadamu?”

Aku menatapnya dalam. Melihat kedua bola matanya yang mungkin sudah merah.

Djibril mulai bercerita, “Dulu… surga tidak penuh sungai madu. Alkohol lah yang mengalir di dalamnya. Kautahu, kami – kaum malaikat – selalu berpesta
tiap minggunya. Itu dulu sekali, sebelum kalian ada. Kau tentu tidak tahu betapa nikmatnya bercinta dengan bidadari surga yang selalu kembali perawan setelah kami melakukannya.”

“Kau bohong! Dusta!” nadaku mulai meninggi.

Djibril hanya tertawa. “Kautahu, Ablasa, sahabat terdekatku… dia terusir dari kami. Kautahu kenapa? Dia membenci moyangmu, makhluk sok suci yang hobinya menjilat Tuan kami. Ablasa membuat sayembara, siapa yang bisa membongkar topeng kesok-sucian moyangmu itu akan diangkat menjadi pemimpin di antara kami. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, memperingatkan semua kaumku bahwa tindakan seperti itu sudah keterlaluan. Tuan kami bisa marah. Bisa murka. Tapi, Ablasa tetap nekat menggoda. Dan pasti kautahu apa yang selanjutnya terjadi… Ablasa terusir dari surga. Maka, Tuan kami sedikit ‘memperindah’ ceritanya kepada kalian, biar Ia tak kehilangan ‘muka’.”

“Kau benar-benar sudah mabuk. Aku tak mau lagi berbicara kepadamu!”

Aku beranjak pergi. Djibril mencengkram sebelah tanganku, “Kau harus janji, takkan menceritakan kisah ini kepada siapa-siapa. Kalau Ia sampai tahu, aku bukan saja akan dipecat jadi malaikat… nasibku bisa lebih hina ketimbang Ablasa.”

Aku tidak menjawabnya. Aku hentakkan saja tanganku – lepas dari cengkramannya. Lalu pergi.



Satu bulan.
Dua bulan.

Ternyata sudah tiga bulan aku di ibukota. Di sini, aku menjadi bawahannya si anak tetangga. Aku hanya sebagai pengantar jasa. Tiap tiga kali dalam seminggu, aku ditugaskan mengantarkan sejumlah paket ke alamat tertentu. Aku tak tahu apa isi paket itu. Yang jelas aku bahagia, gaji lebih satu juta dalam sebulan aku dapatkan. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan dan keluarga di kampung halaman.

Aku masih bersiul di atas motorku, menuju alamat yang ditentukan di kawasan Jakarta Selatan. Terbersit ingatan tiga bulan sebelumnya, tentang Djibril. Ah, pasti dia hanya mengaku Djibril. Djibril tak mungkin seperti itu …, ungkap bathinku. Segerombolan polisi melakukan razia. STNK ada, SIM juga ada. Tak ada yang perlu kucemaskan.

“Ini apa, Pak?” polisi muda satu bertanya. Kutaksir usianya baru duapuluhlimaan.

“Paket, Pak.”

“Bisa saya lihat surat kirimannya?”

Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan dompet. Dan kuberikan yang ia minta.

“Boleh kami periksa isinya?”

Dengan terpaksa aku mengiyakan. Maklum, malas rasanya harus membungkus ulang barang ini.

Tak lama, polisi muda tampak memanggil rekannya. Berbisik-bisik. Kemudian berjalan ke arahku. Membekukku. Memborgol tanganku. Tanpa bisa kumengerti alasannya.

“Anda ditangkap dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba!”

Aku mengelak. Aku teriak. “Tidak… tidak… aku bukan pengedar!”

“Ini buktinya,” polisi muda itu menunjukkan beberapa bungkusan bubuk berwarna putih yang disebutnya sebagi shabu-shabu. Aku ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian setempat untuk dimintai keterangan.


Aku berada dalam kurungan. Disebutnya aku tertangkap tangan, dengan dakwaan yang tak pernah kulakukan. Si anak tetangga sudah tak ada. Kabarnya ia sudah tak ada di tempat saat aku tertangkap. Aku menjadi terdakwa tunggal. Padahal… kautahu aku tak tahu apa-apa. Aku cuma korban ketidaktahuan. Aku adalah … Hah sudahlah…

Aku hanya bisa menangis.

Dan terus menangis.

Terus menerus berada dalam tekanan. Lama-lama tak selera makan.

Malam kedelapan, dua sosok tampak berusaha membangunkan. Mungkin petugas polisi sialan yang mencoba memaksaku makan seperti hari-hari sebelumnya. Namun setelah kuperhatikan, suara itu tampak tak asing. Seperti… ya kautahu… itu suara Djibril!

“Djibril? Kaukah itu?” Tanyaku dengan suara lirih dengan bibir bergetar pelan.

“Kau sudah sadar rupanya… tidak kusangka kau jadi seperti ini.”

“Djibril… aku tidak bersalah. Tolong aku.”

Samar-samar kulihat ia tersenyum. Sementara aku tak tahu siapa di sampingnya. Mukanya ia tutupi dengan topeng hitam. Dengan baju serba hitam pula.

“Bukannya kau sempat meragukan ke-Djibrilanku?” tanyanya dengan nada sinis.

Aku cuma diam.

“Tapi untunglah… karena itu kau tak membicarakan apa yang pernah kita bicarakan kepada orang lain,” lanjutnya lagi mengungkit kata-kata yang
ia bicarakan saat dia mabuk. “Dan hentikan pikiran bahwa saat itu aku sedang mabuk!” ia menghardik keras – tahu apa yang aku pikirkan.

“Aku akan menolongmu.”

Aku tersenyum. Ingin bangkit memeluknya.

Laki-laki (kukira laki-laki) di sampingnya maju ke hadapanku. Suaranya serak-serak bernada tenor. “Dengan cara apa?” tanyanya kepada Djibril.

“Terserahmu…” Djibril memalingkan muka.

Dan kautahu… aku menjerit. Sakit… sakit sekali. Tidak akan bisa kau bayangkan rasa sakitnya. Beberapa menit aku harus bergumul dengan rasa sakit ini. Aku tersadar… dia Izrail, Si Pencabut Nyawa. Sejenak kutatap Djibril yang sudah memalingkan mukanya. Dan zapp… semua pandanganku lenyap.



(Kau dengar ceritaku kan? Hei kau, tatap aku!
Ternyata percuma mengajakmu bicara
Sekali pun kau tak bisa mendengarku)

Comments

melvina said…
ining membaca lebih hikmat,tp uang disaku tidak mecukupi, boleh saya copi lalu saya baca di rumah?
salam kenal
http://pidipidipoop.blogspot.com
Anonymous said…
lama tak bersua kawan...

kapan ya kita bisa ngumpul lagi :D

Popular Posts