Pringadi Abdi : Simbol Otak Kiri Rakyat Yang Bukan Lirik
Simbol-simbol dan Otak Kiri
Membaca sajak-sajak Pringadi (yang selanjutnya akan saya sebut ‘Adi’) selalu memaksa saya untuk memberdayakan otak kiri saya, bagian logika saya. Padahal saya pribadi bisa dibilang lemah dengan otak kiri. Malas BERPIKIR. Saya lebih senang MERASAKAN saja, dalam hal apapun: terlebih puisi, ketika menulis maupun membacanya. Lantas, apa yang membuat saya mengatakan bahwa sajak-sajak Adi adalah ‘sajak otak kiri’? Salah satunya adalah terdapat banyak simbol di dalam sajak-sajaknya; simbol yang sulit untuk sekadar ‘dirasakan’, simbol yang memaksa untuk ‘berpikir’. Maka dari itu, saya sulit menggunakan ‘dada’ saya, sementara saya terlalu malas memakai ‘kepala’ saya- kalau meminjam istilah dari penyair muda Makassar yang tersohor itu. Akibatnya, cukup banyak sajak-sajak Adi yang tidak bisa saya nikmati, seperti yang berikut:
SELALU saja terhenti di angka dua sembilan
setiap ia maju di depan kelas, membacakan
angka-angka kematian
..
PADAHAL ini hari SABTU, sebelum minggu yang
begitu ia kenang, melagukan kidung-kidung agung
dalam orkestra para pemenang
"Baju PRA MUKAMU mana?" bisik guru yang begitu
hobi membawa gundu, lalu menggaris tiga segi
di lantai yang sudah gontai
(Seorang Murid yang Juling Satu)
SETELAH bertahun ia hidup, ia baru sadar
Tak ada i di namanya sendiri. Ia tanya orang
Tuanya yang sudah pikun, dan nekad pergi
Ke dukun biar tahu kenapa tak ada i
Di namanya sendiri?
(Euler)
ingin sekali kupangkas PONI rambutmu tepat di tiga perempat
tubuh. biar satu bunyi menari-nari, menggoda kata paling purba
agar menyatu. agar bersatu.
..
dan kau malah bersikeras datang ke salon yang
ada di perempatan kiri kedua dari simpang kelima, dimana kita
pernah memuja waktu
..
(PON)
Bob atau fof yang kudengar atau telingaku yang salah
menangkapnya entah karena budaya sunda membuatku
lupa apa beda f dan p atau tiba-tiba b yang mengintervensi
hendak menyaingi
..
(POP)
Dan masih beberapa lagi sajaknya yang sejenis itu. Baiklah, mungkin kalau saya mau sedikit berusaha keras saya akan bisa memahami maksud dari simbol-simbol itu sehingga saya tidak mengeluh di awal-awal tulisan ini. Tapi, kembali lagi, saya tidak mau capek menguras otak, berkutat dengan ‘rumus-rumus’ dan berkeringat hanya untuk menikmati sebuah puisi. Saya lebih memilih duduk di balkon rumah sendirian sambil minum teh hangat, merasakan angin sejuk dan puisi larut di dalamnya. Maafkanlah. :D
-
Rakyat
Hal lain lagi dari sajak-sajak Adi yang ‘bertolak-belakang’ dengan saya, adalah isu-isu ‘kerakyatan’ yang diangkatnya dalam cukup banyak sajaknya. Ia kerap menyinggung masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dan kemudian menuangkannya ke dalam sajak. Ia mendengar, melihat, lalu mengeluh, dan menulis sajak tentang keluhannya itu.
KUPAKSA dia naik Trans-Jakarta malah
membuatnya muntah-muntah. keluar
semua kata-kata yang pernah dilipatnya
di kertas, waktu menahan amarah
"Kubilang juga apa, enakan kita jalan
kaki saja, atau mengayuh sepeda roda
tiga yang kita penggal satu dan
kita gelindingkan ke lengkung kurva
yang turunkan harga-harga."
..
(Pareto)
..
Tangis dan ringis yang terus
ia masukkan ke list favoritnya, dan
ia ajukan ke chart tangga lagu (mungkin
saja akan banyak penonton merequest
dan mendengarkan keluhannya)
seribu satu telepon masuk dan
ia jadi juara tangga lagu minggu ini
dengan lirik yang penuh tangis itu
dan seribu satu pula saran
menganjurkannya suntik ke valhalla
rumah sakit para dewa yang murah
tarifnya akibat subsidi
dari pemerintah
..
(Valhalla)
tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampenya damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
biru atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.
..
(P(e)milu)
..
Petani-petani lupa betapa busuk aroma tak lagi hinggap di
hidung. Malah ia sampirkan di kidung paling agung. di
butir-butir beras yang ia tanak di waktu paling duka, tanpa
cahaya.
..
o, bapak-bapak bau kemenyan dengan setelan baju yang tak
murahan, betapa lupa harga seperti tubuh kami yang
renggang yang tak pernah kami ikat dengan erat. seperti
gerak tubuh kami yang lentur menarikan desing bunyi
..
(Ka(ba)ret)
Sedikit Nuansa Lain
Terkait dengan isu-isu ‘kerakyatan’ yang diangkat Adi di dalam sajak-sajaknya, saya justru menemukan nuansa lain di beberapa sajak pendek yang ia buat. Saya katakan, saya tidak begitu menikmati sajak-sajak ‘kerakyatan’ Adi di yang saya kutip di atas, tapi saya menikmati sajak-sajak ‘kerakyatan’ Adi yang ditulisnya dengan ‘gaya’ yang agak berbeda, seperti berikut ini:
--- Selasa, 26/12/06
sekolah tutup hari ini
padahal kutinggalkan boneka
di ruang penjaga
cuma itu hadiah yang tersisa
dari pecahan musibah
dua tahun airmata
..
(Minggu Terakhir Bulan Desember)
Terasa perbedaannya, bukan. Rasa sedih Adi lebih terasa di sajak Minggu Terakhir Bulan Desember yang ditulisnya dengan gaya ‘catatan-memo-singkat’. Ibarat kata, sajak-sajak keluhan Adi yang sebelumnya seperti memungut daun-daun kering di tengah jalan lantas meletakkannya di atas piring bernama sajak. Akan tetapi, sajak keluh-sedih Adi yang ini seperti memungut daun-daun kering, lalu mengolahnya dengan tanah hingga menjadi humus, mengendapkannya, sehingga alih-alih menyajikan daun-daun kering di atas piring, justru piring itu sendiri adalah daun-daun kering yang telah menjadi humus tadi. Piring dan daun-daun kering itu bercampur. Dan saya menikmati makan piring yang terbuat dari daun-daun kering itu.
Sayangnya, saya jarang sekali menemukan Adi menulis sajak-sajak yang mengangkat isu-isu ‘kerakyatan’ dengan gaya, atau nuansa seperti itu; nuansa yang sedih, bergumam, murung, nglangut. Ia lebih banyak menulis dengan gaya parodi, protes, langsung, straight.
-
Yang Bukan Lirik
Ya, kebanyakan, atau nyaris semua sajak-sajak Adi adalah sajak bukan lirik. Sajaknya ia tulis dengan gaya bercerita, persis seperti sajak-sajak Joko Pinurbo. Bisa juga dikatakan bahwa Adi tidak terpancing untuk ikut-ikut berlirik-lirik ria, di tengah banjir puisi liris, di tengah keluhan-keluhan akan lirisisme itu, di tengah rencana dan usaha membunuhnya!
Agak kembali ke persoalan tema yang ia angkat di dalam sajak-sajaknya, yakni isu ‘kerakyatan’ tadi; yang saya kira cukup langka di kalangan para penulis puisi usia muda. Mungkin Adi mengira harus mencari jalan lain menuju puncaknya, di tengah serakan sajak-sajak anggur dan rembulan, dan angin di bangku taman. Mungkin ia sama sekali tidak tertarik, atau ia sebenarnya tertarik, tapi merasa sudah terlalu banyak pejalan kaki yang mengembara dan mendirikan tenda di sana. Seperti isu abadi itu: Seni untuk Rakyat, atau Seni untuk Seni. Maka saya kira Adi lebih berpihak kepada yang pertama, atau setidaknya kecurigaan saya mengatakan demikian. Hanya saya rasa Adi belum cukup gigih dan serius menggarap ideologinya itu, sehingga kadang ia terlihat ‘angin-anginan’ dan tidak konsisten, tidak secara intens menguji kegelisahan-kegelisahannya, rasa keberpihakannya.
Padahal saya kira jika Adi mau intens, mau berusaha keras, mau MEMAKSA diri sendiri menggali dan menguji terus-menerus kegelisahannya, rasa keberpihakan yang ia miliki itu akan jadi bahan bakar yang ampuh untuk sajak-sajaknya; tentunya tidak sekadar dalam artian ‘produktif’, tapi juga bertambah ‘ngeri’ secara kualitas. Karena saya percaya Adi memiliki potensi yang begitu besar untuk menghasilkan sajak-sajak bagus dengan nuansa yang lain- yang bukan saya, yang bukan belakangan ini senantiasa berlahiran, yang akan jadi puncak lain, puncak yang sedikit, puncak yang langka.
-
Akhirnya, simbol-simbol ‘gelap’ dari otak kiri Adi, isu-isu kerakyatan yang disampaikan secara ‘langsung’, gaya bercerita yang gamblang, sungguh tak begitu bisa saya nikmati. Saya sering mendakwa Adi ‘tak punya hati’, ia terlalu ‘ber-otak’ ketika berpuisi, dan saya mengira itu adalah kelemahannya. Tapi mungkinkah justru itu kelebihannya?
Bernard Batubara
http://bisikanbusuk.blogspot.com
Membaca sajak-sajak Pringadi (yang selanjutnya akan saya sebut ‘Adi’) selalu memaksa saya untuk memberdayakan otak kiri saya, bagian logika saya. Padahal saya pribadi bisa dibilang lemah dengan otak kiri. Malas BERPIKIR. Saya lebih senang MERASAKAN saja, dalam hal apapun: terlebih puisi, ketika menulis maupun membacanya. Lantas, apa yang membuat saya mengatakan bahwa sajak-sajak Adi adalah ‘sajak otak kiri’? Salah satunya adalah terdapat banyak simbol di dalam sajak-sajaknya; simbol yang sulit untuk sekadar ‘dirasakan’, simbol yang memaksa untuk ‘berpikir’. Maka dari itu, saya sulit menggunakan ‘dada’ saya, sementara saya terlalu malas memakai ‘kepala’ saya- kalau meminjam istilah dari penyair muda Makassar yang tersohor itu. Akibatnya, cukup banyak sajak-sajak Adi yang tidak bisa saya nikmati, seperti yang berikut:
SELALU saja terhenti di angka dua sembilan
setiap ia maju di depan kelas, membacakan
angka-angka kematian
..
PADAHAL ini hari SABTU, sebelum minggu yang
begitu ia kenang, melagukan kidung-kidung agung
dalam orkestra para pemenang
"Baju PRA MUKAMU mana?" bisik guru yang begitu
hobi membawa gundu, lalu menggaris tiga segi
di lantai yang sudah gontai
(Seorang Murid yang Juling Satu)
SETELAH bertahun ia hidup, ia baru sadar
Tak ada i di namanya sendiri. Ia tanya orang
Tuanya yang sudah pikun, dan nekad pergi
Ke dukun biar tahu kenapa tak ada i
Di namanya sendiri?
(Euler)
ingin sekali kupangkas PONI rambutmu tepat di tiga perempat
tubuh. biar satu bunyi menari-nari, menggoda kata paling purba
agar menyatu. agar bersatu.
..
dan kau malah bersikeras datang ke salon yang
ada di perempatan kiri kedua dari simpang kelima, dimana kita
pernah memuja waktu
..
(PON)
Bob atau fof yang kudengar atau telingaku yang salah
menangkapnya entah karena budaya sunda membuatku
lupa apa beda f dan p atau tiba-tiba b yang mengintervensi
hendak menyaingi
..
(POP)
Dan masih beberapa lagi sajaknya yang sejenis itu. Baiklah, mungkin kalau saya mau sedikit berusaha keras saya akan bisa memahami maksud dari simbol-simbol itu sehingga saya tidak mengeluh di awal-awal tulisan ini. Tapi, kembali lagi, saya tidak mau capek menguras otak, berkutat dengan ‘rumus-rumus’ dan berkeringat hanya untuk menikmati sebuah puisi. Saya lebih memilih duduk di balkon rumah sendirian sambil minum teh hangat, merasakan angin sejuk dan puisi larut di dalamnya. Maafkanlah. :D
-
Rakyat
Hal lain lagi dari sajak-sajak Adi yang ‘bertolak-belakang’ dengan saya, adalah isu-isu ‘kerakyatan’ yang diangkatnya dalam cukup banyak sajaknya. Ia kerap menyinggung masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dan kemudian menuangkannya ke dalam sajak. Ia mendengar, melihat, lalu mengeluh, dan menulis sajak tentang keluhannya itu.
KUPAKSA dia naik Trans-Jakarta malah
membuatnya muntah-muntah. keluar
semua kata-kata yang pernah dilipatnya
di kertas, waktu menahan amarah
"Kubilang juga apa, enakan kita jalan
kaki saja, atau mengayuh sepeda roda
tiga yang kita penggal satu dan
kita gelindingkan ke lengkung kurva
yang turunkan harga-harga."
..
(Pareto)
..
Tangis dan ringis yang terus
ia masukkan ke list favoritnya, dan
ia ajukan ke chart tangga lagu (mungkin
saja akan banyak penonton merequest
dan mendengarkan keluhannya)
seribu satu telepon masuk dan
ia jadi juara tangga lagu minggu ini
dengan lirik yang penuh tangis itu
dan seribu satu pula saran
menganjurkannya suntik ke valhalla
rumah sakit para dewa yang murah
tarifnya akibat subsidi
dari pemerintah
..
(Valhalla)
tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampenya damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
biru atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.
..
(P(e)milu)
..
Petani-petani lupa betapa busuk aroma tak lagi hinggap di
hidung. Malah ia sampirkan di kidung paling agung. di
butir-butir beras yang ia tanak di waktu paling duka, tanpa
cahaya.
..
o, bapak-bapak bau kemenyan dengan setelan baju yang tak
murahan, betapa lupa harga seperti tubuh kami yang
renggang yang tak pernah kami ikat dengan erat. seperti
gerak tubuh kami yang lentur menarikan desing bunyi
..
(Ka(ba)ret)
Sedikit Nuansa Lain
Terkait dengan isu-isu ‘kerakyatan’ yang diangkat Adi di dalam sajak-sajaknya, saya justru menemukan nuansa lain di beberapa sajak pendek yang ia buat. Saya katakan, saya tidak begitu menikmati sajak-sajak ‘kerakyatan’ Adi di yang saya kutip di atas, tapi saya menikmati sajak-sajak ‘kerakyatan’ Adi yang ditulisnya dengan ‘gaya’ yang agak berbeda, seperti berikut ini:
--- Selasa, 26/12/06
sekolah tutup hari ini
padahal kutinggalkan boneka
di ruang penjaga
cuma itu hadiah yang tersisa
dari pecahan musibah
dua tahun airmata
..
(Minggu Terakhir Bulan Desember)
Terasa perbedaannya, bukan. Rasa sedih Adi lebih terasa di sajak Minggu Terakhir Bulan Desember yang ditulisnya dengan gaya ‘catatan-memo-singkat’. Ibarat kata, sajak-sajak keluhan Adi yang sebelumnya seperti memungut daun-daun kering di tengah jalan lantas meletakkannya di atas piring bernama sajak. Akan tetapi, sajak keluh-sedih Adi yang ini seperti memungut daun-daun kering, lalu mengolahnya dengan tanah hingga menjadi humus, mengendapkannya, sehingga alih-alih menyajikan daun-daun kering di atas piring, justru piring itu sendiri adalah daun-daun kering yang telah menjadi humus tadi. Piring dan daun-daun kering itu bercampur. Dan saya menikmati makan piring yang terbuat dari daun-daun kering itu.
Sayangnya, saya jarang sekali menemukan Adi menulis sajak-sajak yang mengangkat isu-isu ‘kerakyatan’ dengan gaya, atau nuansa seperti itu; nuansa yang sedih, bergumam, murung, nglangut. Ia lebih banyak menulis dengan gaya parodi, protes, langsung, straight.
-
Yang Bukan Lirik
Ya, kebanyakan, atau nyaris semua sajak-sajak Adi adalah sajak bukan lirik. Sajaknya ia tulis dengan gaya bercerita, persis seperti sajak-sajak Joko Pinurbo. Bisa juga dikatakan bahwa Adi tidak terpancing untuk ikut-ikut berlirik-lirik ria, di tengah banjir puisi liris, di tengah keluhan-keluhan akan lirisisme itu, di tengah rencana dan usaha membunuhnya!
Agak kembali ke persoalan tema yang ia angkat di dalam sajak-sajaknya, yakni isu ‘kerakyatan’ tadi; yang saya kira cukup langka di kalangan para penulis puisi usia muda. Mungkin Adi mengira harus mencari jalan lain menuju puncaknya, di tengah serakan sajak-sajak anggur dan rembulan, dan angin di bangku taman. Mungkin ia sama sekali tidak tertarik, atau ia sebenarnya tertarik, tapi merasa sudah terlalu banyak pejalan kaki yang mengembara dan mendirikan tenda di sana. Seperti isu abadi itu: Seni untuk Rakyat, atau Seni untuk Seni. Maka saya kira Adi lebih berpihak kepada yang pertama, atau setidaknya kecurigaan saya mengatakan demikian. Hanya saya rasa Adi belum cukup gigih dan serius menggarap ideologinya itu, sehingga kadang ia terlihat ‘angin-anginan’ dan tidak konsisten, tidak secara intens menguji kegelisahan-kegelisahannya, rasa keberpihakannya.
Padahal saya kira jika Adi mau intens, mau berusaha keras, mau MEMAKSA diri sendiri menggali dan menguji terus-menerus kegelisahannya, rasa keberpihakan yang ia miliki itu akan jadi bahan bakar yang ampuh untuk sajak-sajaknya; tentunya tidak sekadar dalam artian ‘produktif’, tapi juga bertambah ‘ngeri’ secara kualitas. Karena saya percaya Adi memiliki potensi yang begitu besar untuk menghasilkan sajak-sajak bagus dengan nuansa yang lain- yang bukan saya, yang bukan belakangan ini senantiasa berlahiran, yang akan jadi puncak lain, puncak yang sedikit, puncak yang langka.
-
Akhirnya, simbol-simbol ‘gelap’ dari otak kiri Adi, isu-isu kerakyatan yang disampaikan secara ‘langsung’, gaya bercerita yang gamblang, sungguh tak begitu bisa saya nikmati. Saya sering mendakwa Adi ‘tak punya hati’, ia terlalu ‘ber-otak’ ketika berpuisi, dan saya mengira itu adalah kelemahannya. Tapi mungkinkah justru itu kelebihannya?
Bernard Batubara
http://bisikanbusuk.blogspot.com
Comments