Membaca TSP: Kami, Kunci, dan Ia yang Tersembunyi

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
(Q. S. Al-Mu’Minun 12-14)


Kami


Membaca tspinang, seperti membaca sebuah kitab yang ditulis oleh manusia. Sebuah kitab yang kiranya suci, tetapi bukan kitab suci. Kitab ini berisi tentang suatu pandangan yang berbahan bakar karbon dan melakukan proses pembakaran menghasilkan oksigen yang ia hembuskan ke pembacanya. Kitab ini tidak menggurui, tidak. Kitab ini tidak mendoktrinisasi, tidak. Kitab ini sama halnya dengan kitab-kitab harian semacam diary yang disampaikan dengan bahasa wahyu - melepaskan keegoan dan keakuan penulisnya, serta bertutur dengan kesah yang ilmu.

Kemudian kesah yang ilmu ini mewujud dalam ‘kami’, yang menurut saya adalah entitas tunggal. Tunggal, secara terminologi berarti kumpulan dari yang jamak. Sesuatu-sesuatu yang berseliweran dalam pandangannya bersepakat membentuk ‘kami’ dengan dirinya sendiri. Kemudian menceritakan kisah-kisah yang ‘kami’ alami dengan sudut pandang ‘kami’. Tidak ada ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’, apalagi ‘kau’.

‘kami’ hidup, berjalan-jalan, dan makin mematangkan pandangannya. ‘kami’ melihat. ‘kami’ mendengar’. ‘kami’ merasakan’. ‘kami’ dengan bebas beraktivitas. Tapi ‘kami’ tidak bertanya, atau tepatnya ‘kami’ sudah melewati bentuk pertanyaannya sendiri Tepatnya, ‘kami’ adalah sosok yang berpengalaman dan haus pengalaman. Semua dicatatnya. Semua diingatnya. Semua dinyatakan dan dilakukan olehnya. Dan pernyataan-pernyataannyalah yang kemudian melahirkan pertanyaan bagi lingkungan 'kami'.

Kunci

‘kami’ punya rumah. Rumahnya tidak pernah terkunci sebenarnya, tapi ‘kami’ selalu membawa anak kunci. Khawatir bila rumahnya mengunci sendiri. Jadi kalau itu terjadi, ‘kami’ bisa membuka pintu rumahnya.

Anak kuncinya juga tidak pernah bertanya, dimana orangtuanya. Ia hanya bersifat pelayan dari majikan, dalam frasa yang selalu diingatnya sejak dirinya dilahirkan: sami’na wa ato’na (kami dengar kami taat). ‘kami’ juga sosok yang taat. Taat mencatat. Taat mengingat.

‘kami’ yang suka membicarakan dirinya sendiri itu benar-benar tahu dengan cermat, sudut-sudut yang pernah dilaluinya. ‘kami’ juga seorang pejalan. Pejalan yang hobi memunguti anak-anak kunci lain yang kerap ia temukan. Dengan anak –anak kuncinya itu, ‘kami’ membuka setiap rumah, bangunan, ruangan yang ia temukan. Dan ia catat apa-apa yang ada di dalamnya, sebelum ‘kami’ melanjutkan perjalanannya – mencari anak-anak kunci baru.

Ia Yang Tersembunyi


Dengan siapa ‘kami’ berbicara, ini masih menjadi misteri. Tapi ‘kami’ kadang tertawa sendiri dan menertawakan dirinya sendiri di depan kaca, saat ‘kami’ melihat ‘kami’. ‘kami’ merasa dirinya tidak sempurna. ‘kami’ akhirnya bertanya, apakah ‘kami’ tanah? Apakah ‘kami’ mani? Apakah ‘kami’ tulang? Apakah ‘kami’ daging?

‘kami’ tahu jawabannya, tapi ragu. Maka ‘kami’ terus berjalan saja untuk menceritakan kisahnya pada ‘ia’. Kalau-kalau ‘ia’ mau menjadi ‘kami’. Kalau-kalau ‘kami’ berkelanjutan menjadi ‘kami’ yang baru, dalam bentuk lain.

Lalu siapa ‘ia’?


Dan ‘kami’ tertawa.

Comments