#5BukuDalamHidupku: Simfoni Dua
Agak lucu jika sampai buku ketiga, tak ada satu pun buku puisi yang menginspirasiku. Seseorang yang berpengaruh pada cara pandangku terhadap puisi adalah Subagio Sastrowardoyo. Mulanya, ketika kali pertama kudengar nama itu, aku berpikir beliau adalah ayahnya Dian Sastrowardoyo, atau kira-kira punya hubungan kekerabatan. Aku di sini tidak akan membahas kesukaanku pada kualitas akting Dian Sastro yang mumpuni, atau pembacaan puisinya di Ada Apa Dengan Cinta yang menakjubkan, atau malah bertanya alasan dia mau menikahi Adiguna Sutowo. Tidak. Tidak seperti itu. Ini adalah perjumpaanku dengan Subagio Sastrowardoyo, sosok yang membuatku semakin mencintai puisi, dengan sebab ketulusan.
Di buku inilah, aku pada akhirnya menyadari satu unsur penting yang harus dimiliki setiap penyair: Kredo.
Nada Awal
Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang tergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih
Seolah aku menemukan kesadaran puitik yang selama ini aku idam-idamkan. Sekaligus menjawab balik kata-kata Vermouth, "Secret makes woman woman" itu. Tetapi pengucapan di puncak sepi, adalah jawaban atas rahasia-rahasia yang setiap orang miliki. Termasuk rahasiaku, atau bahkan rahasia Tuhan.
Subagio Sastrowardoyo yang muncul pada tahun 1950-an, puisi-puisinya sempat menarik perhatian banyak pengamat. Puisi-puisinya dinilai berani menggugat hakikat hidup dan sikap keagamaan, yang kemudian banyak dihubungkan orang dengan filsafat eksistensialisme.
Tapi dalam suratnya kepada H.B. Jassin yang merupakan kritik atas kritik, Subagio terang-terangan menolak anggapan tersebut: “Di dalam dunia sastra aku tak mau ikut-ikutan mengulang-ulang pandangan filsafat yang tidak menarik lagi bagiku, baik yang Sartreaans, karena absurditas yang terlalu palsu romantis, maupun yang Nietzcheans, karena cita-cita Uebermensch-nya terlalu mengingatkan aku pada pada bayangan cita-cita dan sikap hidup anak puber. Aku bukan penganut buta suatu ajaran filsafat atau dogma agama. Aku mau dengan persediaan pengalaman dan studi mengisi dan membentuk diriku mencapai kesadaran yang setinggi-tingginya tentang hidup ini dan tentang manusia. Dan aku beranggapan, bahwa kebenaran yang hakiki hanya dapat disorot dengan matahari, dengan menggali lebih dalam ke dalam bawah sadar”. [Selengkapnya]
Sementara pada diriku, Nada Awal dan Subagio membuatku kembali mengingat masa-masa awal menulis puisi. Tidak ada tujuan lain selain untuk menyampaikan perasaan. Ketulusan. Berusaha menihilkan posisi "aku" di hadapan objek. Inilah sepertinya fungsi puisi, membuang ego manusia. Juga perasaan ingin bertanya, rasa ingin tahu yang lekat pada diriku. Kepedulian terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarku.
Dan semua anggapan itu tampaknya diamini juga oleh Hasan Aspahani yang menulis paradigma Subagio di dalam blognya.
Lima Paradigma Subagio
Pasal 1. Jangan menyekatkan perhatian hanya kepada diri sendiri.
Penjelasan: Perhatikanlah diri kita, tapi perhatian kita jangan hanya tersekat pada kepada diri sendiri. Sehebat apapun, kita hanya punya satu kehidupan yang amat sempit dibandingkan betapa banyak kehidupan di luar diri kita. Perhatikan kepada kehidupan lain di luar diri kita akan memperkaya kita dan juga membuat lebih mengenal siapa kita sesungguhnya.
Pasal 2: Sajak yang hanya berisi sedu-sedan dan keluh-kelah bukan sajak yang cukup berarti.
Penjelasan: Sajak seringkali suka menempuh jalan sunyi. Sajak kerapkali berisi perayaan atas sedih dan duka. Sajak acapkali seperti meruapkan aroma darah yang menetes dari hati yang luka. Tapi sajak yang baik tidak menjadikan kesunyian, dukalara dan luka itu sebagai alasan untuk jadi cengeng, tersedu-sedu dan mengumbar keluh-kesah. Sunyi, duka dan luka di dalam sajak hendaknya bisa mengingatkan bahwa memang mereka adalah bagian mutlak dari kehidupan. Sunyi, duka dan luka di dalam sajak yang penuh bermakna mampu menghadirkan alasan bahwa hidup memang berharga untuk dilanjutkan.
Pasal 3: Penyair harus mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.
Penjelasan: Mempertalikan diri berarti kita menaruh perhatian, meluangkan waktu untuk melihat gerak-gerik dunia: alam, binatang, benda mati, langit, dan manusia, sesempatnya. Pasti ada yang luput dari perhatian kita, tapi selalu saja ada yang hanya kita sendiri yang melihat gerak-geriknya. Kita yang memberi makna pada gerak-gerik yang remeh itu. Setiap kali menemukan sesuatu dari dunia luas yang sedang diperhatikan maka kita sedapat mungkin terpandang juga pada diri sendiri, yang ternyata ah betapa kecilnya.
Pasal 4: Tema cinta abadi dalam sajak.
Penjelasan: Kupaslah sajak sampai ia telanjang bulat, maka yang tersisa adalah Cinta. Bawalah sajak jauh mengembara, maka ia selalu bisa dikembalikan pada Cinta. Yaitu Cinta pada indahnya kebenaran, kedamaian, dan damba untuk mewujudkan keadaan terbaik yang paling mungkin untuk dicapai.
Pasal 5. Sajak adalah catatan pengalaman batin dalam menangkap dan merasakan cinta.
Penjelasan: Cinta yang ditangkap dan dirasakan oleh penyair adalah pengalaman batiniah. Menulis sajak adalah menjasmanikan rasa cinta itu. Sajak adalah catatan dari apa yang dialami oleh batin yang merasakan cinta itu. Di dalam sajak penyair tidak melulu hanya mencatat cinta, cinta, cinta dan cinta itu saja. Dalam sajak, cinta pun kadang hanya hadir sebagai rasa. Ia bisa dirasakan dari apa-apa yang dicatatkan oleh penyair. Sajak yang baik bisa menawarkan pengalaman batin bagi pembaca, dan si pembaca juga bisa menangkap dan merasakan cinta yang ada di dalam sajak itu atau bahkan cinta lain yang berada tidak pada sajak itu.
* Dari catatan Hasan Aspahani yang katanya diolah dari "Kata Pengantar Penyair", Subagio Sastrowardoyo pada buku "Dan Kematian Makin Akrab", PT Grasindo, 1995.
Begitulah, Simfoni Dua kemudian seakan menjadi kitab suci puisi bagiku. Manakala aku merasa tersesat dalam hidup, aku akan terus kembali padanya. Membaca sajaknya. Satu per satu. Huruf demi huruf.
Comments