#5BukuDalamHidupku DONGENG AFRIZAL
Laki-laki itu memulai cerita dengan memberikan aku sebuah surat. "Bacalah..." katanya.
"Aku tidak bisa membaca."
"Bacalah..."
Lalu dia menuntunku membaca surat itu. Sekejap aku seperti seorang pintar yang pandai membaca. Tetapi belum habis surat itu kubaca, dia memberikan aku surat-surat lain. Semuanya ada tujuh surat.
"Kalau kau sudah membaca semua surat ini, aku menanti balasan suratmu. Tulislah... 1 saja."
Peristiwa ini tidak terjadi di Gua Hira. Pada tahun 2011 lalu, seorang lelaki menulisnya. Laki-laki itu narsis. Laki-laki itu manis. Laki-laki itu mencintai cerita seperti kekasihnya.
Dia juga mencintai Arsenal. Dan Afrizal. "Afrizal itu penyair," katanya memberitahuku.
"Penyair itu apa?" tanyaku.
"Penyair itu aku."
"Kau bukan cerpenis?"
Dia tidak menjawab. Dia memberiku sebuah doa. "Kau yang akan jadi cerpenis."
Aku lupa setelah kami berkenalan, berapa kali kami bertemu. Kadang-kadang di kafe, di bioskop, di pantai, di kamar kos. "Belajarlah memeluk kehilangan..."
"Tapi apa kita bisa kehilangan tanpa pernah memiliki?"
Sampai sekarang pertanyaan itu tak dapat dia jawab. Aku sendiri tak pernah menemukan jawabannya. Bahkan ketika aku rindu lelaki itu, dia tidak pernah menjawab kerinduanku. Meski aku telah berdiri di depan rumahnya. Dia tidak pernah muncul lagi. Dia tidak pernah ada lagi di dalam cermin itu.
(2013)
Comments