Pajak Ekologi

I. Permasalahan

Bidang yang mengalami perbenturan paling keras dengan urusan lingkungan hidup adalah ekonomi. Sebagian besar termologi ekonomi, mulai dari yang Marxis sampai Monetarian terbukti gagal mempertemukan kepedulian lingkungan dengan kenyataan praktik berekonomi di dunia nyata.

Perusahaan harus mengalokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih atau me-lakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar. Hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Biosfer bumi merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan manfaat ekologi (ecological benefit), manfaat ekonomi (economical benefit), dan manfaat sosial (social benefit). Tiga pilar ini merupakan rantai keberlangsungan bagi kehidupan manusia dan pembebanan yang paling mempengaruhi kesejahteraan manusia adalah bersumber pada ekologi yang memberi efek pada kemakmuran ekonomi, sosial budaya. Ekonomi tidak akan bergerak tanpa sumber daya alam.

Berbeda dengan pembangunan yang secara drastis mengubah dan menghilangkan nilai ekologi suatu sumber daya, perkembangan lingkungan justru memerlukan waktu jangka panjang. Banyak komponen lingkungan adalah milik umum seperti laut, udara, angin dan air, namun manfaat dan kerugian lingkungan selalu berada di luar perhitungan (externality) biaya perusahaan. Lingkungan tunduk kepada hukum alam seperti keterkaitan keanekaragaman hayati yang tidak masuk perhitungan ekonomi pasar, tetapi ketiadaan fungsi alam ini jelas menimbulkan distorsi ekonomi. Ekologi harus dipandang sebagai aset utama di dalam proses ekonomi yang berdampak pada kehidupan sosial budaya manusia.

Dari sekian banyak jenis pajak yang diberlakukan oleh pemerintah, tidak ada yang dikhususkan untuk mengganti kerusakan udara, air, tanah, hutan, pesisir dan laut. Industri secara sadar harus menginternalkan berbagai eksternalitas yang ditimbulkan melalui retribusi, pajak, pengutan dan iuran lingkungan (pajak ekologi), dalam komponen harga melalui kebijaksanaan ekonomi makro. Industri masa datang harusnya mampu berproduksi dalam jangka panjang dengan tetap memelihara ekosistemnya. Untuk melestarikan ekosistem, kegiatan pembangunan industri harus mencegah pencemaran, mengurangi emisi-emisi, melestarikan keanekaragaman hayati, menggunakan sumber daya biologi terpulihkan secara berkelanjutan dan mempertahankan keterpaduan ekosistem-ekosistem lain dalam ekosistem besar biosfer bumi.

II. Pembahasan

Menurut Prof. Dr. PJA Adriani, pajak adalah iuran Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Dari definisi tersebut, salah satu ciri pajak adalah bahwa pajak dipungut berdasarkan undang-undang (UUD 1945 Pasal 23 A). Dalam kaitannya dengan ‘Pajak Ekologi’, kita perlu menilik UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3.

Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (2). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. (3)

Interpretasinya adalah bahwa Negara sebagai ‘pemilik’ Indonesia wajib melindungi alam Indonesia ini. Dari mulai air, tanah, hutan, juga udara. Pemerintah perlu menetapkan sebuah aturan khusus yang memiliki fungsi sebagai filter untuk meminimalisir kerusakan lingkungan tersebut. Dan salah satunya adalah penetapan Pajak Ekologi.

Lantas kita bertanya, bagaimana aplikasi pajak ekologi ini? Contoh hal kecilnya adalah penggunaan kendaraan bermotor. Dalam setiap pembelian kendaraan bermotor juga harus ditetapkan pajak ekologi. Selain itu, setiap kilometer penggunaannya wajib direkapitulasi untuk pembayaran pajak tiap bulannya. Misal, 1000 km/bulan. Pastinya dari jumlah kilometer ini, kita bisa menghitung jumlah BBM yang digunakan. Yang selanjutnya bisa dikalkulasi jumlah polutan yang telah mencemari udara. Dalam hal ini, sistem yang digunakan adalah official assesstment pada awalnya, dan lambat laun menuju self assessment, wajib pajak berada dalam posisi yang aktif. Dan penetapan tarif pajak ekologi individu (pemakaian kendaraan bermotor, dsb) tentu harus beda dengan tarif pajak ekologi industry/pabrik. Karena tarif pajak yang digunakan adalah tarif pajak progresip proporsional, yaitu tarif pemungutan pajak dengan prosentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan prosentase untuk setiap jumlah tertentu tetap.

Bagaimana jika ada yang protes? Apakah pemungutan pajak ekologi telah memenuhi syarat-syarat pemungutan pajak? Jelas Iya! Dari segi syarat keadilan, maka pemungutan pajak ekologi memenuhi syarat ini. Mengapa? Memang terlihat pemilik kendaraan misalnya, memiliki keuntungan dari penggunaannya. Tetapi ia telah mencemari udara yang dihirup oleh semua orang. Polutan tesebut terakumulasi di udara dan menurunkan kualitas lingkungan. Oleh karena itulah, ia harus membayar pajak ekologi yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kualitas ekologi.
Dilihat dari syarat Yuridis pun telah jelas. Dan sungguh, pemungutan pajak ekologi tidak akan melanggar syarat ekonomis pemungutan pajak. Hal ini tidak akan mengganggu kestabilan perekonomian. Malah mampu menciptakan kesadaran lingkungan. Dengan penetapan pajak ekologi, masyarakat akan menimbang lebih lanjut jika ingin membeli kendaraan bermotor. Pembelian yang tidak efektif dan tidak urgent hanya akan menambah beban pajak. Masyarakat akan lebih sadar asas manfaat. Secara tidak langsung, hal ini mampu mendidik masyarakat bawah untuk lebih ekonomis.

Kerusakan lingkungan seperti hutan dan lainnya juga bisa diminimalisir. Perusahaan-perusahaan kayu, bubur kertas, dan lainnya yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya akan memberikan input ‘dana segar’ dari kegiatannya. Kemudian dana ini digunakan untuk merebosiasi hutan yang telah rusak atau malah membuat hutan produksi sendiri. Coba bandingkan efektivitas penerapan pajak ekologi dengan undang-undang yang mengatur penyewaan hutan ke pihak swasta. Tapi memang official pemungut pajak harus kompeten di bidangnya dan mampu menciptakan kesadaran lingkungan bagi para pengusaha tersebut untuk kemudian berubah menjadi self assessment ketika kesadaran itu telah terbentuk.

Dan asas pemungutan pajak yang dipakai tentu adalah asas domisili. Perusahaan/individu manapun yang berdomisili di Indonesia berhak dikenakan pajak ini.
Dan perlu diperhatikan bahwa peran pemerintah sangat besar di sini untuk menyosialiasikan penerapan pajak ekologi itu. Bukan sekedar ‘himbauan’ tapi sebuah ‘keharusan’. Konsistensi para pemungut pajak juga diharapkan, agar nantinya dana dari pajak ini dapat disalurkan dengan benar. Jika benar terealisasi, maka akan banyak perubahan positif dalam kualitas lingkungan juga kualitas bangsa Indonesia.

Comments

Anonymous said…
Di, ini Arra.
Kaget ternyata ini blog kamu toh.
Well, saya lagi mau penelitian, masih dillema diantara dua topik.
Nampaknya tulisan ini agak bersinggungan dengan salah satu topik yang akan saya usulkan, yaitu tentang penetapan pajak emisi. Kamu punya bahan tentang itu???

Boleh minta??