Lacur
Saya masih duduk sendiri. Menunggu. Memandang tanah-tanah kering.
Di taman ini, saya adalah tak lebih seekor cacing. Menggeliat ke sana ke mari mencari celah basah. Sebab cacing tak suka cahaya berlebih, menusuk pori-pori. Sebab cacing juga tak perlu mencari pasangan untuk kawin. Tidak
seperti manusia.
Di taman ini, saya adalah seorang sepi. Tak menanggapi lalu lalang yang tak berarti.
Pukul tiga sore.
Hari sudah tua, namun bayang-bayang masih bertenaga. Sebab setiap hari matahari tampak kian berapi. Pohon-pohon ditebangi, polusi menjadi-jadi. Manusia semakin sibuk dengan dirinya sendiri. Hingga lalu lalang tak pernah berhenti. Tak pernah cahaya padam. Tak pernah musik berhenti berdentang. Sementara makhluk-makhluk lain mulai mengungsi, mencari sepi.
Seorang pengemis datang meminta sedekah. Saya tidak tahu siapa dia, darimana asalnya, berapa umurnya. Yang saya tahu, pakaiannya kumuh selusuh jiwanya yang tak punya malu. Yang saya tahu, manusia harus berusaha dengan cara terhormat untuk mempertahankan kehidupannya. Seperti saya.
Sebab saya sedang menunggu seseorang di tempat ini. Di tempat dimana pengemis itu masih memandangi saya. Saya benci tatapannya. Seperti ingin kawin, menelanjangi saya bulat-bulat. Sebab saya tahu tatapan lelaki yang ingin kawin, tidak ubahnya monyet yang ingin kawin. Liar. Buas. Atau pura-pura malu-malu. Menunggu hingga mangsanya lengah.
Mas Danu, lelaki yang saya tunggu. Sudah paruh baya. Sebab katanya dia mau menghidupi saya. Menjadikan saya simpanannya. Pelayan birahinya. Saya tidak menolak. Sebab saya tidak suka hidup miskin. Saya tidak suka menjadi pengemis yang meminta-minta mengorbankan rasa malu. Kamu bertanya apa saya tidak malu menjadi simpanan orang lain? Tidak. Siapa yang tahu, Tidak ada kamu. Tidak ada orangtua. Tidak ada saudara. Tidak juga ada istri pertamanya.
Sebab saya juga sudah terlanjur mencintai bau keringatnya. Kamu tidak tahu, keringat lelaki itu mendamaikan. Tidak bisa dibandingkan dengan wewangian manapun. Sebab saya juga sudah terlanjur mencintai kenakalan lidahnya yang bergerilya di langit-langit mulut saya. Pun lembut tangannya yang menggeranyangi tiap jengkal tubuh, membuka kancing satu per satu. Hingga kami telanjang bulat. Tak ditutupi dosa. Bercinta dengan buasnya. Berjam-jam. Berhari-hari.
…
Mas Danu datang kemudian. Saya sambut dia dengan senyum bahagia. Saya peluk dia. Saya cium dia. Dia juga memperlakukan saya sama. Tak lama kami pun berpagut. Tak peduli dengan pengemis tadi yang mungkin memandangi kami iri, juga ingin menikmati tubuh saya. Sebab katanya ukuran tubuh saya sangat indah, kulit putih bersih, dan bibir yang seksi. Mengundang birahi lelaki manapun yang memandang saya.
“Ikut saya.” Mas Danu menggamit lengan saya, menuju ke arah mobilnya yang tengah di parkir tak jauh.
“Kemana mas?”
Mas Danu tidak menjawab. Sebab katanya saya akan diberi kejutan. Saya mulai mengira-ngira apa. Cincin sudah. Perhiasan apa saja sudah. Tidak mungkin saya akan diberi kejutan ‘perlakuan istimewa’. Sebab hari masih sore. Tidak ada tempat terbuka untuk kami bercinta. Tidak mungkin di dalam mobil tempat parkir. Saya pernah melakukannya. Malam hari sepulang ia memanjakan saya untuk berbelanja. Dari sentuhan ke pagutan. Dan setelah itu kami bercinta dua ronde di areal parkir tempat perbelanjaan. Yang paling tidak terlupakan, saat kami menonton bioskop. Malam itu begitu sepi. Tampak hanya beberapa pasang muda-mudi yang sedang asik menonton (juga membuat tontonan). Mas Danu tidak mau kalah. Setelah tangan dan bibirnya puas menggeranyangi saya, dia berbisik lembut, “Biarkan saya yang melayanimu malam mini.” Saya tidak berhenti berdesah, menggigit bibir saya, menahan jeritan kenikmatan yang Mas Danu berikan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalan tol. Tiba-tiba Mas Danu memberhentikan mobilnya. “Rin, tolong pake ini.” Kata Mas Danu sambil memberikan sebuah kain berwarna hitam.
“Untuk apa, Mas?”
“Tutup matamu…”
Saya menurut. Ia membantu saya mengikatkan kain itu untuk menutupi penglihatan saya. Saya sudah pasrah. Saya sudah percaya Mas Danu. Entah apa yang Mas Danu ingin perlihatkan kepada saya nanti.
Beberapa lama kemudian mobil tampak berhenti. Mas Danu membuka penutup mata saya. Saya tidak tahu berada di mana. Tampak sebuah rumah minimalis yang sangat indah dengan hehijauan tamannya. “Ini untukmu.” Kata Mas Danu.
Saya mengernyitkan dahi.
“Mulai sekarang, ini rumahmu.” Kata Mas Danu lagi.
Aku memeluknya bahagia. Dan kami mulai berpagut. Terus berpagut, meski kemudian Mas Danu membopongku masuk ke rumah baruku. Dan kami, lagi-lagi, bercinta sampai pagi hari di rumah baru ini.
…
Saya masih terus menunggu. Tapi saya tidak lagi duduk sendiri memandang tanah-tanah kering. Tidak ada lagi pengemis yang meninta-minta, memandang saya dengan tatapan birahi.
Mas Danu semakin sering ke sini. Awalnya satu kali seminggu. Lalu dua kali. Tiga kali. Dan kini, sudah lima kali dalam minggu ini.
“Istri Mas tidak curiga?” tanya saya manja sambil mengupas buah mangga yang dia bawa.
“Dia tidak akan tahu, sayang.” Jawabnya sambil bersandar di pangkuan saya. “Mas sudah bilang, mas mau rapat ke luar kota.”
“Kenapa tidak Mas ceraikan saja?”
“Itu tidak mungkin. Semua harta masih atas namanya.”
Mas Danu memang seorang Direktur perusahaan besar. Tetapi perusahaan itu bukan miliknya. Dulu dia hanyalah seorang karyawan biasa. Dari keluarga biasa. Atasannya, yang kemudian jadi mertuanya, sangat perhatian dan puas dengan kinerja Mas Danu. Karena itulah, Mas Danu dijodohkan dengan anak atasannya itu.
“Rin, Mas sayang kamu …”
Kami baru mulai berpagut; terdengar pintu digedor berkali-kali.
Praaang!
Terdengar suara kaca dipecahkan.
“Keluar kalian!” terdengar suara seorang wanita teriak. Sementara wajah Mas Danu tampak pucat pasi. Mas Danu tampak tergesa. Panik. Kemudian membuka pintunya.
“Jadi di sini rapatnya?!” wanita itu berteriak dengan nada tinggi.
“Maaf, Ma. Maaf.” Mas Danu tampak merengek, seperti anak kecil.
Wanita itu mendekati saya. “Kamu rupanya?!”
Plaak! Wanita itu menampar saya. Berkali-kali. Saya coba menghindar. Saya coba lari. Sementara Mas Danu hanya diam saja menyaksikan kami berkelahi.
“Sundal Wanita perusak rumah tangga!” bermacam-macam cacian dialamatkan pada saya. Saya hanya bisa menangis. Dan ia mulai menendangi saya. Saya mulai tidak terima. Saya mulai melawan. Tapi tenaga saya kalah. Kemudian… saya melihat pisau! Ya, pisau tadi untuk mengiris buah. Saya ambil pisau itu. Saya tusukkan di perut sebelum kirinya. Darahnya mulai terasa di tangan saya. Wanita itu masih melototi saya setengah tidak percaya saya telah menusuknya. Saya cabut. Saya tusukkan lagi. Kali ini di dada sebelah kiri. Di jantungnya.
Mas Danu ternganga melihat adegan ini. Saya juga tidak percaya. Saya (mungkin) sudah menjadi seorang pembunuh. Mas Danu mendekat. Menampar saya. “Apa yang sudah kamu lakukan?!”
Saya hanya bisa terus menangis. Menangis dan menangis. Mas Danu tampak membopong istrinya yang sudah tidak berdaya. Saya tahu, begitu Mas Danu keluar dari rumah ini, ia takkan pernah lagi kembali. Saya takut. Saya benar-benar takut. Saya ambil tindakan nekad. Saya tusukkan pisau tadi di punggungnya. Saya cabut. Dia memegangi bekas tusukan yang sudah penuh darah. Menatap saya marah. Tapi saya tahu, dia tidak akan mati kalau hanya ditusuk di punggungnya. Belum sempat Mas Danu menghimpun tenaga, saya sudah tusukkan lagi pisau itu di dada sebelah kirinya. Dan beberapa detik kemudian Mas Danu juga tergeletak tak berdaya.
Saya masih menangis. Terus menangis. Sementara darah sudah membanjir kemana-mana. Pisau itu masih ada. Saya masih sadar kalau saya akan dipenjara setelah ini. Seumur hidup. Tidak! Saya tidak mau hidup di penjara. Saya tidak mau hidup sengsara. Kemudian saya memandangi pisau itu beberapa lama.
Bluss!
Saya tusukkan juga pisau itu ke dada kiri saya.
(Sementara pandangan saya mulai memudar, saya ingat, dulu juga saya seorang wanita biasa yang mengharap hidup bahagia dengan orang yang saya cintai. Saya juga bernah berharap ciuman pertama dan harga kewanitaan saya, saya serahkan kepada seorang pendamping yang resmi.)*
Di taman ini, saya adalah tak lebih seekor cacing. Menggeliat ke sana ke mari mencari celah basah. Sebab cacing tak suka cahaya berlebih, menusuk pori-pori. Sebab cacing juga tak perlu mencari pasangan untuk kawin. Tidak
seperti manusia.
Di taman ini, saya adalah seorang sepi. Tak menanggapi lalu lalang yang tak berarti.
Pukul tiga sore.
Hari sudah tua, namun bayang-bayang masih bertenaga. Sebab setiap hari matahari tampak kian berapi. Pohon-pohon ditebangi, polusi menjadi-jadi. Manusia semakin sibuk dengan dirinya sendiri. Hingga lalu lalang tak pernah berhenti. Tak pernah cahaya padam. Tak pernah musik berhenti berdentang. Sementara makhluk-makhluk lain mulai mengungsi, mencari sepi.
Seorang pengemis datang meminta sedekah. Saya tidak tahu siapa dia, darimana asalnya, berapa umurnya. Yang saya tahu, pakaiannya kumuh selusuh jiwanya yang tak punya malu. Yang saya tahu, manusia harus berusaha dengan cara terhormat untuk mempertahankan kehidupannya. Seperti saya.
Sebab saya sedang menunggu seseorang di tempat ini. Di tempat dimana pengemis itu masih memandangi saya. Saya benci tatapannya. Seperti ingin kawin, menelanjangi saya bulat-bulat. Sebab saya tahu tatapan lelaki yang ingin kawin, tidak ubahnya monyet yang ingin kawin. Liar. Buas. Atau pura-pura malu-malu. Menunggu hingga mangsanya lengah.
Mas Danu, lelaki yang saya tunggu. Sudah paruh baya. Sebab katanya dia mau menghidupi saya. Menjadikan saya simpanannya. Pelayan birahinya. Saya tidak menolak. Sebab saya tidak suka hidup miskin. Saya tidak suka menjadi pengemis yang meminta-minta mengorbankan rasa malu. Kamu bertanya apa saya tidak malu menjadi simpanan orang lain? Tidak. Siapa yang tahu, Tidak ada kamu. Tidak ada orangtua. Tidak ada saudara. Tidak juga ada istri pertamanya.
Sebab saya juga sudah terlanjur mencintai bau keringatnya. Kamu tidak tahu, keringat lelaki itu mendamaikan. Tidak bisa dibandingkan dengan wewangian manapun. Sebab saya juga sudah terlanjur mencintai kenakalan lidahnya yang bergerilya di langit-langit mulut saya. Pun lembut tangannya yang menggeranyangi tiap jengkal tubuh, membuka kancing satu per satu. Hingga kami telanjang bulat. Tak ditutupi dosa. Bercinta dengan buasnya. Berjam-jam. Berhari-hari.
…
Mas Danu datang kemudian. Saya sambut dia dengan senyum bahagia. Saya peluk dia. Saya cium dia. Dia juga memperlakukan saya sama. Tak lama kami pun berpagut. Tak peduli dengan pengemis tadi yang mungkin memandangi kami iri, juga ingin menikmati tubuh saya. Sebab katanya ukuran tubuh saya sangat indah, kulit putih bersih, dan bibir yang seksi. Mengundang birahi lelaki manapun yang memandang saya.
“Ikut saya.” Mas Danu menggamit lengan saya, menuju ke arah mobilnya yang tengah di parkir tak jauh.
“Kemana mas?”
Mas Danu tidak menjawab. Sebab katanya saya akan diberi kejutan. Saya mulai mengira-ngira apa. Cincin sudah. Perhiasan apa saja sudah. Tidak mungkin saya akan diberi kejutan ‘perlakuan istimewa’. Sebab hari masih sore. Tidak ada tempat terbuka untuk kami bercinta. Tidak mungkin di dalam mobil tempat parkir. Saya pernah melakukannya. Malam hari sepulang ia memanjakan saya untuk berbelanja. Dari sentuhan ke pagutan. Dan setelah itu kami bercinta dua ronde di areal parkir tempat perbelanjaan. Yang paling tidak terlupakan, saat kami menonton bioskop. Malam itu begitu sepi. Tampak hanya beberapa pasang muda-mudi yang sedang asik menonton (juga membuat tontonan). Mas Danu tidak mau kalah. Setelah tangan dan bibirnya puas menggeranyangi saya, dia berbisik lembut, “Biarkan saya yang melayanimu malam mini.” Saya tidak berhenti berdesah, menggigit bibir saya, menahan jeritan kenikmatan yang Mas Danu berikan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalan tol. Tiba-tiba Mas Danu memberhentikan mobilnya. “Rin, tolong pake ini.” Kata Mas Danu sambil memberikan sebuah kain berwarna hitam.
“Untuk apa, Mas?”
“Tutup matamu…”
Saya menurut. Ia membantu saya mengikatkan kain itu untuk menutupi penglihatan saya. Saya sudah pasrah. Saya sudah percaya Mas Danu. Entah apa yang Mas Danu ingin perlihatkan kepada saya nanti.
Beberapa lama kemudian mobil tampak berhenti. Mas Danu membuka penutup mata saya. Saya tidak tahu berada di mana. Tampak sebuah rumah minimalis yang sangat indah dengan hehijauan tamannya. “Ini untukmu.” Kata Mas Danu.
Saya mengernyitkan dahi.
“Mulai sekarang, ini rumahmu.” Kata Mas Danu lagi.
Aku memeluknya bahagia. Dan kami mulai berpagut. Terus berpagut, meski kemudian Mas Danu membopongku masuk ke rumah baruku. Dan kami, lagi-lagi, bercinta sampai pagi hari di rumah baru ini.
…
Saya masih terus menunggu. Tapi saya tidak lagi duduk sendiri memandang tanah-tanah kering. Tidak ada lagi pengemis yang meninta-minta, memandang saya dengan tatapan birahi.
Mas Danu semakin sering ke sini. Awalnya satu kali seminggu. Lalu dua kali. Tiga kali. Dan kini, sudah lima kali dalam minggu ini.
“Istri Mas tidak curiga?” tanya saya manja sambil mengupas buah mangga yang dia bawa.
“Dia tidak akan tahu, sayang.” Jawabnya sambil bersandar di pangkuan saya. “Mas sudah bilang, mas mau rapat ke luar kota.”
“Kenapa tidak Mas ceraikan saja?”
“Itu tidak mungkin. Semua harta masih atas namanya.”
Mas Danu memang seorang Direktur perusahaan besar. Tetapi perusahaan itu bukan miliknya. Dulu dia hanyalah seorang karyawan biasa. Dari keluarga biasa. Atasannya, yang kemudian jadi mertuanya, sangat perhatian dan puas dengan kinerja Mas Danu. Karena itulah, Mas Danu dijodohkan dengan anak atasannya itu.
“Rin, Mas sayang kamu …”
Kami baru mulai berpagut; terdengar pintu digedor berkali-kali.
Praaang!
Terdengar suara kaca dipecahkan.
“Keluar kalian!” terdengar suara seorang wanita teriak. Sementara wajah Mas Danu tampak pucat pasi. Mas Danu tampak tergesa. Panik. Kemudian membuka pintunya.
“Jadi di sini rapatnya?!” wanita itu berteriak dengan nada tinggi.
“Maaf, Ma. Maaf.” Mas Danu tampak merengek, seperti anak kecil.
Wanita itu mendekati saya. “Kamu rupanya?!”
Plaak! Wanita itu menampar saya. Berkali-kali. Saya coba menghindar. Saya coba lari. Sementara Mas Danu hanya diam saja menyaksikan kami berkelahi.
“Sundal Wanita perusak rumah tangga!” bermacam-macam cacian dialamatkan pada saya. Saya hanya bisa menangis. Dan ia mulai menendangi saya. Saya mulai tidak terima. Saya mulai melawan. Tapi tenaga saya kalah. Kemudian… saya melihat pisau! Ya, pisau tadi untuk mengiris buah. Saya ambil pisau itu. Saya tusukkan di perut sebelum kirinya. Darahnya mulai terasa di tangan saya. Wanita itu masih melototi saya setengah tidak percaya saya telah menusuknya. Saya cabut. Saya tusukkan lagi. Kali ini di dada sebelah kiri. Di jantungnya.
Mas Danu ternganga melihat adegan ini. Saya juga tidak percaya. Saya (mungkin) sudah menjadi seorang pembunuh. Mas Danu mendekat. Menampar saya. “Apa yang sudah kamu lakukan?!”
Saya hanya bisa terus menangis. Menangis dan menangis. Mas Danu tampak membopong istrinya yang sudah tidak berdaya. Saya tahu, begitu Mas Danu keluar dari rumah ini, ia takkan pernah lagi kembali. Saya takut. Saya benar-benar takut. Saya ambil tindakan nekad. Saya tusukkan pisau tadi di punggungnya. Saya cabut. Dia memegangi bekas tusukan yang sudah penuh darah. Menatap saya marah. Tapi saya tahu, dia tidak akan mati kalau hanya ditusuk di punggungnya. Belum sempat Mas Danu menghimpun tenaga, saya sudah tusukkan lagi pisau itu di dada sebelah kirinya. Dan beberapa detik kemudian Mas Danu juga tergeletak tak berdaya.
Saya masih menangis. Terus menangis. Sementara darah sudah membanjir kemana-mana. Pisau itu masih ada. Saya masih sadar kalau saya akan dipenjara setelah ini. Seumur hidup. Tidak! Saya tidak mau hidup di penjara. Saya tidak mau hidup sengsara. Kemudian saya memandangi pisau itu beberapa lama.
Bluss!
Saya tusukkan juga pisau itu ke dada kiri saya.
(Sementara pandangan saya mulai memudar, saya ingat, dulu juga saya seorang wanita biasa yang mengharap hidup bahagia dengan orang yang saya cintai. Saya juga bernah berharap ciuman pertama dan harga kewanitaan saya, saya serahkan kepada seorang pendamping yang resmi.)*
Comments