Mengenal Air Terjun Oehala di Soe
Perjalanan ke Kupang beberapa bulan silam meninggalkan kenangan yang berarti. Bakda perjalanan dinas ke Kanwil Perbendaharaan Provinsi NTT, aku melanjutkan perjalanan pribadi seorang diri menuju Mollo, Timor Tengah Selatan. Di sana ada seorang teman, cerpenis bernama Dicky Senda, yang pertama kutemui di residensi penulis Asean Literary Festival.
Sebenarnya ingin sekali aku mengikuti trip singkat yang ia adakan dalam tajuk desa wisata yang tengah ia galang. Ia bercerita mengenai kebudayaan orang Mollo, hutan penyihir, tomat mungil asli Mollo, jagung bose, dan puncak Fatumnasi yang tertinggi di NTT. Namun, karena alasan keterbatasan waktu (dan fisik), aku tak mampu mengikuti perjalanan itu.
Selepas dari hotel, aku tadinya ingin pergi ke terminal. Namun, malasnya menaiki bis adalah ngetem, sehingga aku memilih naik travel saja. Meski sama saja, aku harus menunggu juga. Tapi, setidaknya naik travel Avanza ini lebih nyaman.
"Nanti kalau sudah sampai Soe, bilang ya?" ujar Senda lewat pesan singkat.
Soe berjarak 110-an kilometer dari Kupang. Ibukota dari Timor Tengah Selatan ini dijuluki sebagai kota beku, karena suhu udaranya yang lebih dingin dari wilayah lain. Perjalanan ke sana begitu eksotis dengan pohon flamboyan yang baru berbunga, berganti pemandangan laut dari atas bukit, lalu ladang-ladang yang membentang dengan hewan ternak yang dilepas begitu saja, penjual jagung rebus manis yang murah meriah (10.000 dapat 6), lalu jalan berkelak-kelok menaiki bukit kembali, hutan rimba, dan jalan yang dipenuhi kupu-kupu. Semua itu dapat kita nikmati sampai kita rasakan suhu udara lebih dingin, itu tandanya kita sudah mendekati Soe.
Sesampainya di Soe, ternyata sinyal cukup susah. Setelah kepayahan menghubungi Senda, akhirnya tersambung juga dan kami bisa bertemu di depan sebuah penginapan. Seorang temannya sedang di hotel itu, baru saja mendaki dan bermalam di Fatumnasi.
Setelah menghabiskan sepiring makanan Padang (terpujilah warung Padang yang ada di mana-mana), Senda mengajakku mengunjungi air terjun Oehala. Tak jauh, katanya. Tak sampai setengah jam dari Soe.
Akses air terjun ini terbilang cukup mudah. Dari parkiran kendaraan, kita hanya harus turun melalui medan yang sudah disiapkan (disemen) sehingga terasa lebih mudah. Dan sungguh, pemandangan yang kusaksikan membuatku sumringah. Air terjun ini bertingkat-tingkat, dengan air yang menggoda minta diberenangi.
Berada di kaki gunug mutis, air terjun ini disebut juga air terjun tujuh tingkat karena undakannya yang ada tujuh. Oehala berasal dari bahasa Timor atau bahasa Dawan yang berarti air tempat persembahan, atau bisa juga air kedamaian.Sesuai namanya, air terjun yang berada di tengah hutan rimba ini betul-betul menawarkan kesejukan dan kedamaian. Tak ragu, aku langsung melepas baju dan berenang di air terjun ini. Sungguh segar sekali.
Beruntungnya lagi, pada saat ke sana, Oehala sedang sepi-sepinya. Bisa dilihat 'kan, aku bisa berfoto sendirian dengan latar air terjun ini? Indah, bukan? Di bawahnya sebenarnya masih ada tingkat selanjutnya, namun aku sudah kadung tergoda untuk berenang, berenang dan berenang.
Aku bertanya-tanya bagaimana asal-usul Oehala, namun Senda bilang dia tidak tahu. Oehala memang terkenal dari dulu sebagai tempat beristirahat orang Soe dan sekitarnya. Aku pikir Oehala bisa menjadi magnet yang luar biasa bagi wisatawan. Sayangnya untuk fasilitas yang ada kurang memadai. Tidak ada toilet yang layak. Tempat beristirahat berupa lopo (saung khas NTT) kurang terawat. Penjual makanan dan ala-ala khas NTT pun bisa dibilang tak ada. Tapi, mungkin saja, itulah yang tetap menjaga kealamian Oehala.
Kamu tertarik buat ke sini juga? Yuk!
Sebenarnya ingin sekali aku mengikuti trip singkat yang ia adakan dalam tajuk desa wisata yang tengah ia galang. Ia bercerita mengenai kebudayaan orang Mollo, hutan penyihir, tomat mungil asli Mollo, jagung bose, dan puncak Fatumnasi yang tertinggi di NTT. Namun, karena alasan keterbatasan waktu (dan fisik), aku tak mampu mengikuti perjalanan itu.
Selepas dari hotel, aku tadinya ingin pergi ke terminal. Namun, malasnya menaiki bis adalah ngetem, sehingga aku memilih naik travel saja. Meski sama saja, aku harus menunggu juga. Tapi, setidaknya naik travel Avanza ini lebih nyaman.
"Nanti kalau sudah sampai Soe, bilang ya?" ujar Senda lewat pesan singkat.
Soe berjarak 110-an kilometer dari Kupang. Ibukota dari Timor Tengah Selatan ini dijuluki sebagai kota beku, karena suhu udaranya yang lebih dingin dari wilayah lain. Perjalanan ke sana begitu eksotis dengan pohon flamboyan yang baru berbunga, berganti pemandangan laut dari atas bukit, lalu ladang-ladang yang membentang dengan hewan ternak yang dilepas begitu saja, penjual jagung rebus manis yang murah meriah (10.000 dapat 6), lalu jalan berkelak-kelok menaiki bukit kembali, hutan rimba, dan jalan yang dipenuhi kupu-kupu. Semua itu dapat kita nikmati sampai kita rasakan suhu udara lebih dingin, itu tandanya kita sudah mendekati Soe.
Sesampainya di Soe, ternyata sinyal cukup susah. Setelah kepayahan menghubungi Senda, akhirnya tersambung juga dan kami bisa bertemu di depan sebuah penginapan. Seorang temannya sedang di hotel itu, baru saja mendaki dan bermalam di Fatumnasi.
Setelah menghabiskan sepiring makanan Padang (terpujilah warung Padang yang ada di mana-mana), Senda mengajakku mengunjungi air terjun Oehala. Tak jauh, katanya. Tak sampai setengah jam dari Soe.
Akses air terjun ini terbilang cukup mudah. Dari parkiran kendaraan, kita hanya harus turun melalui medan yang sudah disiapkan (disemen) sehingga terasa lebih mudah. Dan sungguh, pemandangan yang kusaksikan membuatku sumringah. Air terjun ini bertingkat-tingkat, dengan air yang menggoda minta diberenangi.
Berada di kaki gunug mutis, air terjun ini disebut juga air terjun tujuh tingkat karena undakannya yang ada tujuh. Oehala berasal dari bahasa Timor atau bahasa Dawan yang berarti air tempat persembahan, atau bisa juga air kedamaian.Sesuai namanya, air terjun yang berada di tengah hutan rimba ini betul-betul menawarkan kesejukan dan kedamaian. Tak ragu, aku langsung melepas baju dan berenang di air terjun ini. Sungguh segar sekali.
Beruntungnya lagi, pada saat ke sana, Oehala sedang sepi-sepinya. Bisa dilihat 'kan, aku bisa berfoto sendirian dengan latar air terjun ini? Indah, bukan? Di bawahnya sebenarnya masih ada tingkat selanjutnya, namun aku sudah kadung tergoda untuk berenang, berenang dan berenang.
Aku bertanya-tanya bagaimana asal-usul Oehala, namun Senda bilang dia tidak tahu. Oehala memang terkenal dari dulu sebagai tempat beristirahat orang Soe dan sekitarnya. Aku pikir Oehala bisa menjadi magnet yang luar biasa bagi wisatawan. Sayangnya untuk fasilitas yang ada kurang memadai. Tidak ada toilet yang layak. Tempat beristirahat berupa lopo (saung khas NTT) kurang terawat. Penjual makanan dan ala-ala khas NTT pun bisa dibilang tak ada. Tapi, mungkin saja, itulah yang tetap menjaga kealamian Oehala.
Kamu tertarik buat ke sini juga? Yuk!
Comments