Sepuluh Puisi Terbaik Indonesia Menurut A. Teeuw
Kawanku dan Aku
oleh Chairil Anwar
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata…?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.
Si Anak Hilang
oleh Sitor Situmorang
Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu
Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- laki-laki layak menahan hati -
Anak disuruh duduk bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?
Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
1955
Jante Arkidam
oleh Ajib Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
‘mantri polisi lihat ke mari!
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedanan jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!’
Berpandangan wedana dan mantripolisi
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu
‘mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup kembali
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?'
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
Salju
oleh Subagyo Sastrowardoyo
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
Cocktail Party
oleh Toety Heraty
meluruskan kain-baju dahulu
meletakkan lekat sanggul rapi
lembut ikal rambut di dahi
pertaruhan ilusi
berlomba dengan waktu
dengan kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas benang dalam taufan
amuk badai antara insane
taufan? Ah, siapa
yang masih peduli
tertawa kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa
tapi deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin liar, cambukan halilintar
mengiringi
perempuan seram yang kuhadapi, dengan
garis alis cemooh tajam
tertawa lantang –
aku terjebak, gelas anggur di tangan
tersenyum sabar pengecut menyamar –
ruang menggema
dengan gumam hormat, sapa-menyapa
dengan mengibas pelangi perempuan
itu pergi, hadirin mengagumi
mengapa tergoncang oleh cemas
dalam-dalam menghela napas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
kata orang hanya maut pisahkan cinta
tapi hidup merenggut, malam maut
harapan semua tempat bertemu
itu pun hanya kalau kau setuju
keasingan yang mempesona, segala
tersayang yang telah hilang –
penenggelaman
dalam akrab dan lelap
kepanjangan mimpi tanpa derita
dan amuk badai antara insane?
gumam, senyum, dan berjabatan tangan.
1974
Pada Sebuah Pantai: Interlude
oleh Goenawan Mohamad
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau (mungkin kelabu).
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu.
Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun pada pasir gelap.
Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
setia, seperti sebuah gambar keluarga
(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?
Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal).
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa, tapi ada yang percuma saja.”
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Dan itulah soalnya.
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh.
Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
berkata: “Wah, apa daya.”
Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!
Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun
maknanya.
1973
Sajak Sebatang Lisong
oleh WS Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
Aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
Delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
Dan di langit
para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
Aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
Bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
Kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
Inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
1978
Ombak Itulah
oleh Abdul Hadi WM
-- Arie MP Tamba
Ombak itulah yang membangunkan aku lagi padamu:
rambutmu masih hijau meskipun musim berangkat coklat.
Kujahit lagi robekan-robekan tahun pada gelisahku
dan darahmu kembali mengatakan yang ingin diucapkan jantung.
Dulu angin musim panaslah yang mendudukkan aku di sampingmu
dan atas ranjangmu ia tambatkan desirnya memeluk tidurmu.
Kau pun terima aku seperti pohon menerima benalu
dan aku mengikutimu seperti mata batu mengikuti suara di udara.
Garam adalah garam. Ia bisa lebur dalam air
tapi tak dapat lenyap atau dilenyapkan. Dari jauh
kupinjam mulutmu buat meneguk gelas-gelas kosong waktu
dan memberi jalan pada pagi hari lain yang tak mungkin datang.
1977
Husspuss
oleh Sutardji Calzoum Bachri
husspuss
diamlah
kasihani mereka
mereka sekedar penyair
husspuss
maafkan aku
aku bukan sekedar penyair
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu.
3 Sajak
oleh Sapardi Djoko Damono
Saat Sebelum Berangkat
Mengapa kita masih juga bercakap
Hari hamper gelap
Menyekap beribu kata di antara karangan bunga
Di ruang semakin maya,dunia puranama
Sampai tak ada yang sempat bertanya
Mengapa musim tiba-tiba reda
Kita dimana. Waktu seorang bertahan di sini
Di luar para pengiring jenazah menanti
Berjalan di Belakang Jenazah
Berjalan di belakang jenazah anginpun reda
Jam mengerdip
Tak terduga betapa lekas
Siang menepi,melapangkan jalan dunia
Di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
Di atas: matahari kita,matahari itu juga
Jam mengambang di antaranya
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Sehabis Mengantar Jenazah
Masih adakah yang kau tanyakan
tentang hal itu?Hujan pun selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habis bercakap
di bawah bunga-bunga menua,musim yang senja
pulanglah dengan paung di tangan,tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya
masih adakah! Alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya,seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
oleh Chairil Anwar
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata…?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.
Si Anak Hilang
oleh Sitor Situmorang
Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu
Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- laki-laki layak menahan hati -
Anak disuruh duduk bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?
Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
1955
Jante Arkidam
oleh Ajib Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
‘mantri polisi lihat ke mari!
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedanan jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!’
Berpandangan wedana dan mantripolisi
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu
‘mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup kembali
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?'
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
Salju
oleh Subagyo Sastrowardoyo
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
Cocktail Party
oleh Toety Heraty
meluruskan kain-baju dahulu
meletakkan lekat sanggul rapi
lembut ikal rambut di dahi
pertaruhan ilusi
berlomba dengan waktu
dengan kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas benang dalam taufan
amuk badai antara insane
taufan? Ah, siapa
yang masih peduli
tertawa kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa
tapi deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin liar, cambukan halilintar
mengiringi
perempuan seram yang kuhadapi, dengan
garis alis cemooh tajam
tertawa lantang –
aku terjebak, gelas anggur di tangan
tersenyum sabar pengecut menyamar –
ruang menggema
dengan gumam hormat, sapa-menyapa
dengan mengibas pelangi perempuan
itu pergi, hadirin mengagumi
mengapa tergoncang oleh cemas
dalam-dalam menghela napas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
kata orang hanya maut pisahkan cinta
tapi hidup merenggut, malam maut
harapan semua tempat bertemu
itu pun hanya kalau kau setuju
keasingan yang mempesona, segala
tersayang yang telah hilang –
penenggelaman
dalam akrab dan lelap
kepanjangan mimpi tanpa derita
dan amuk badai antara insane?
gumam, senyum, dan berjabatan tangan.
1974
Pada Sebuah Pantai: Interlude
oleh Goenawan Mohamad
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau (mungkin kelabu).
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu.
Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun pada pasir gelap.
Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
setia, seperti sebuah gambar keluarga
(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?
Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal).
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa, tapi ada yang percuma saja.”
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Dan itulah soalnya.
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh.
Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
berkata: “Wah, apa daya.”
Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!
Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun
maknanya.
1973
Sajak Sebatang Lisong
oleh WS Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
Aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
Delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
Dan di langit
para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
Aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
Bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
Kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
Inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
1978
Ombak Itulah
oleh Abdul Hadi WM
-- Arie MP Tamba
Ombak itulah yang membangunkan aku lagi padamu:
rambutmu masih hijau meskipun musim berangkat coklat.
Kujahit lagi robekan-robekan tahun pada gelisahku
dan darahmu kembali mengatakan yang ingin diucapkan jantung.
Dulu angin musim panaslah yang mendudukkan aku di sampingmu
dan atas ranjangmu ia tambatkan desirnya memeluk tidurmu.
Kau pun terima aku seperti pohon menerima benalu
dan aku mengikutimu seperti mata batu mengikuti suara di udara.
Garam adalah garam. Ia bisa lebur dalam air
tapi tak dapat lenyap atau dilenyapkan. Dari jauh
kupinjam mulutmu buat meneguk gelas-gelas kosong waktu
dan memberi jalan pada pagi hari lain yang tak mungkin datang.
1977
Husspuss
oleh Sutardji Calzoum Bachri
husspuss
diamlah
kasihani mereka
mereka sekedar penyair
husspuss
maafkan aku
aku bukan sekedar penyair
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu.
3 Sajak
oleh Sapardi Djoko Damono
Saat Sebelum Berangkat
Mengapa kita masih juga bercakap
Hari hamper gelap
Menyekap beribu kata di antara karangan bunga
Di ruang semakin maya,dunia puranama
Sampai tak ada yang sempat bertanya
Mengapa musim tiba-tiba reda
Kita dimana. Waktu seorang bertahan di sini
Di luar para pengiring jenazah menanti
Berjalan di Belakang Jenazah
Berjalan di belakang jenazah anginpun reda
Jam mengerdip
Tak terduga betapa lekas
Siang menepi,melapangkan jalan dunia
Di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
Di atas: matahari kita,matahari itu juga
Jam mengambang di antaranya
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Sehabis Mengantar Jenazah
Masih adakah yang kau tanyakan
tentang hal itu?Hujan pun selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habis bercakap
di bawah bunga-bunga menua,musim yang senja
pulanglah dengan paung di tangan,tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya
masih adakah! Alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya,seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
Comments