Palasik, (Berita Kota Kendari 7 Juni 2014)


Ketika orang-orang tengah meributkan partikel Tuhan dan tanpa sadar melupakan bahwa Boston-Higgs bukan satu orang (aku jadi kasihan pada orang India itu) sementara sebagian yang lain asik mendebat tentang Grand Design milik Stephen Hawking (dan aku kerap keliru menyebutnya Stephen King), Zane malah berkata tak ingin membawa Hanna keluar rumah karena takut palasik. Padahal besok 1 Syawal. Idul Fitri. Dan ia lulusan Fisika ITB dengan IPK di atas tiga.

            "Apa hubungannya lulusan Fisika ITB dengan 1 Syawal?" Ia berbalik tanya, mengerutkan dahi, tak terima. "Kenapa tak sekalian Ayah bilang saja, ijazah cap gajahku itu tak ada gunanya karena aku hanya menjadi ibu rumah tangga?" Ah, aku benci jika ia mulai mengungkit-ungkit hal ini.
         
   "Bukan, Sayang. Ayah cuma menyarankan Mama untuk ikut shalat besok. Sayang 'kan, setahun sekali lho..."
            "Lalu Hanna bagaimana?"
            "Dia tidak bisa ikut?"
            "Palasik Ayah, palasik!"
“Palasik?”
            Aku tidak paham alasan mitos palasik begitu kuat di sini. Di Palembang, tak ada palasik. Yang ada sawan. Diberi penjelasan ilmiah, bayi yang terkena sawan disebabkan oleh bakteri atau virus saat berada di luar rumah sementara imunitas sang bayi lemah. Bukan karena kesambet jin. Tapi, di Talang, ah, aku tak bisa membayangkan ada sesosok kepala melayang di malam hari, mengikuti bayi kemudian mengisap darahnya. Dan bila di siang hari, ia manusia biasa. Namun, bila melihat bayi lewat, ia akan melotot dan mengisap energi sang bayi.
            "Anak Etek Fitri, yang rumahnya dekat Tunggaek, baru empat hari meninggal. Padahal lahirnya sehat, normal, tak ada masalah. Dua koma tujuh kilogram. Hanna cuma satu koma enam. Ayah mau ambil resiko?" lanjutnya.
            “Hidup mana yang tak ada resiko, Ma? Kita lagi makan enak pun bisa tersedak. Allah yang mengatur hidup mati kita. Ayah tak suka kalau bau-baunya sudah mendekati syirik begini.” Aku menjawab tegas.
            “Ya sudah, bilang ke Mama dulu,” ia mengalah.

            Ini Idul Fitri pertamaku di kampung halaman istri. Di sini cerita mistis masih amat kental. Aku maklum, Talang Babungo sudah termasuk pedalaman. Kira-kira 5-6 jam dari Kota Padang. Dari Alahan Panjang pun masih harus menempuh jalan kecil berkelok diapit banyak jurang.
            Menikah dengan seseorang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda itu tidak mudah. Ada anggapan di masyarakat, tentang pandangan suku A, suku B atau suku C. Aku sendiri tidak pernah peduli dengan hal semacam itu. Tapi ibuku terpengaruh. Pasalnya, kami punya tetangga orang Minang dan justifikasi yang beredar itu benar. Tapi aku meyakinkan Ibu, semua manusia bisa punya sifat serupa. Semua manusia juga bisa memiliki sifat baik. Dan keluarga Zane adalah keluarga yang sangat baik.
            Hanya untuk hal yang satu ini, logikaku tidak mau menerima. “Ayah tahu, setelah bukit yang kemarin Ayah naiki dengan Mesa kemarin, ada sebuah kampung. Di sana tempatnya orang-orang sakti. Di kaki gunung Talang.”
Aku memang dapat melihat gunung itu kemarin saat mengendarai motor ke atas bukit, sekadar ingin mengambil foto kampung dari ketinggian.
“Dan dari simpang Bulakan ini, ke atas sekali, di sana ada kampung yang penduduknya cantik dan tampan sekali. Mereka konon keturunan jin!” tambahnya.
Rasanya aku semakin gila dicekoki hal tidak masuk akal. Ingin kubantah bahwa itu semata dongeng atau khayalan, tetapi takut ia tersinggung dan aku gagal dapat jatah malam ini. Maklum, dari sejak ia menyiapkan proses persalinan di usia 7 bulan kandungan sampai Hanna berusia 4 bulan, kami berpisah karena pekerjaan.
            Aku sendiri tak percaya pada hal-hal mistik karena dari kecil aku tak pernah melihat setan. Ketika kuliah, teman-teman satu kos mengaku pernah dijahili hantu, melihat dedemit wara-wiri di koridor, aku tidak. Termasuk ketika di tempat kos baru, semua anak kos mengakui keangkerannya, sementara aku hanya pernah mendengar suara kran bunyi sendiri di kamar mandiku pukul dua dini hari dan kuanggap itu halusinasi.
            Aku kasihan dengan Hanna yang hanya didekamkan di rumah, paling jauh diajak ke beranda untuk merasakan matahari pagi, itu pun setelah kupaksa dengan fakta bahwa selain untuk kehangatan tubuh bayi, sinar matahari juga bisa memicu keluarnya lendir dari tenggorokan bayi. Lagi pula, ironis rasanya, bila tak percaya pada tetangga dan memiliki prasangka buruk kepada mereka.
            “Ibunya Vino itu palasik, Yah!”
            “Tahu dari mana, jangan asal tuduh. Dosa.”
            “Tanyalah ke Mama, dia tahu ciri-cirinya. Palasik itu keturunan.”
            Aku jadi takut bila kabar ini benar sebab aku tahu cerita tentang Vino yang menyukai Zane sejak SMP. Aku juga tahu orang tua Vino telah berusaha melamar Zane meski kemudian itu ditolak karena aku. Bila benar ibunya Vino palasik, Hanna kemungkinan besar akan diincar. Astaghfirullah.
            “Ayah sudah minta izin ke Papa dan Mama.”
            “Boleh?”
            “Boleh.”
            “Semoga saja tidak hujan ya.”
            Talang didera hujan beberapa hari ini. Aku tak menampik hujan karena sebenarnya hujan adalah berkah. Entah kebetulan atau tidak, biarpun musim kemarau, bila Idul Fitri tiba, minimal gerimis akan turun. Maka di Sukamoro, tak lagi shalat dilaksanakan di lapangan. Masjid yang dibenahi, diperluas, dipasang tenda guna menampung jamaah shalat. Papa bilang di Talang shalatnya di lapangan. Tapi pagi tadi hujan. Berdoa saja lapangan akan kering.    
Aku memang ingin merasakan shalat di lapangan. Beratapkan langit biru dan angin sepoi-sepoi, beralaskan tikar atau kertas koran dan terasa sisa embun basah di rerumputan. Dan doaku terkabul. Pukul enam pagi, lapangan dinyatakan layak untuk menggelar shalat berjamaah. Sebuah sajadah dan beberapa edisi koran yang basi bila dibaca kami bawa. “Kami nanti belakangan, Yah. Duluanlah sama Mesa.” Persiapan ibu-ibu memang selalu lama. Dandan saja bisa setengah jam.
Shalat Id hanya dilaksanakan dua kali dalam setahun. Biasanya banyak yang lupa dengan lafal niat dan jumlah takbir sambil membaca kalimat tasbih di antaranya. Makanya, ada petugas khusus yang mengingatkan itu.
Aku duduk di shaf kelima. Bakda shalat, ada dua khotbah. Tetapi inilah yang menjadi masalah. Jamaah di sebelahku menyalakan rokok. Alamakjang, tak ingatkah mereka pada nasihat untuk mendengarkan dengan khusyuk dan tawadhu khotbahnya khotib. Laiknya shalat Jumat, bila menegur orang yang berbicara pun akan sia-sia pahala shalat Jumatnya. Ini malah merokok yang sudah difatwakan haram oleh MUI dan makruh oleh sebagian ulama yang lain. Belum lagi peraturan pemerintah untuk tidak merokok di tempat umum! Taruh di mana otak bapak-bapak sekalian?
Anak-anak kecil sudah berhamburan, begitu pun remaja tanggung. Mula-mula rokok lalu sound system yang rusak hingga tak terdengar jelas hal yang khotib bicarakan. Gerimis turun tipis. Mesa sudah gelisah, “Ayo, Da, kita pulang.” Aku menjawab, “Nanti. Kita selesaikan dulu khotbahnya.” Kemudian pesan singkat masuk, dari Zane. Dia minta izin pulang karena sudah gerimis.
Aku pikir tak mungkin ada palasik di kerumunan orang yang menunaikan shalat. Zane hanya terlalu paranoid. Aku jadi ingat saat ia menyelesaikan skripsinya mengenai BNCT, Boron Neutron Capture Therapy—ini agak rumit dijelaskan, ia melarangku membeli apel merah. Katanya pengawetan apel itu menggunakan radiasi. Apel itu tak akan busuk dalam 20 hari. “Jadi nasehat memakan kulit apel baik untuk kesehatan itu keliru?” tanyaku. “Tidak. Seharusnya tidak, tetapi itu untuk apel yang tidak tercemar radiasi sebagai media pengawetan,” jawabnya. Nah, membayangkan Zane yang begitu patuh pada segala hal ilmiah itu kini tunduk pada hal mistis macam palasik membuatku geleng-geleng kepala.
Sampai di rumah aku lihat wajah Zane pucat. Wajah Mama juga pucat. “Apa kata Tunggaek, Ma?” Kudengar ia bertanya.
Daun silasiah, Ne, samo ujung pandai baduri 7 halai, lidi saga anau.
Aku tak paham.
Muka panik mereka membuatku ikut panik dan segera masuk kamar. Hanna terbaring pucat. “Hanna kena palasik, Yah...” katanya lirih.
Aku peluk dia. Aku cium pipinya. “Tadi Mama sudah telepon Tunggaek, inshaallah sudah nggak papa,” lanjutnya.
“Kena palasik apa?!” tanyaku.
“Untung Mama segera sadar. Tadi karena terlalu ramai, kita lewat jalan belakang. Di sana ada yang menatap Hanna. Padahal dia lagi jualan, tapi dia mengabaikan orang-orang yang membeli. Malah menatap Hanna lekat.”
“Kan bisa saja dia ingin punya anak atau ingat anaknya di rumah?”
“Beda Yah, beda, dan Mama ingat kalau riwayat keluarganya juga dianggap palasik. Tanyalah ke Mama...” Zane kemudian menggendong Hanna untuk memberinya ASI.
Aku tidak ingin berdebat. Wajah Hanna sangat pucat. Dia biasanya riang dan tersenyum melihatku. Tetapi ini lemas sekali. Tidak ada tenaga. Tatapan matanya lesu, pancaran cahayanya hilang. Hal paling yang tak ingin kulihat adalah melihat anakku dalam keadaan sakit. Ini hati seorang ayah.
Aku ingin menelepon Bapak di Palembang. Tapi bakda shalat, biasanya beliau belum ada di rumah. Bakda mengisi khotbah, beliau pasti bersilaturrahim bersama rombongan masjid. Aku dan Bapak sendiri sama, sama-sama tidak percaya hal mistik. Meski aku lebih logis sementara Bapak berorientasi kepada iman. Beliau beranggapan hal mistik itu syirik. Yang ghaib itu urusan Allah. Manusia hanya berdoa kepada Allah sembari mencari jalan keluar.
“Gimana, Ne?”
“Mama lagi bikin obatnya, tapi tadi Tunggaek sudah kasih penangkal juga.”
“Jadi sudah nggak papa?”
“Semoga. Doakan, Yah…”
“Ne nggak marah kan?”
“Nggak…”

Hanna masih tampak lesu. Dia mulai mau menyusu. Sampai pada titik ini, aku masih sulit percaya atas apa yang barusan terjadi. Dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan melindungi keluarga kami dari segala keburukan. Palasik atau bukan.***

Comments

suryo aja said…
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada aki sUkrO yang telah menolong saya dalam kesulitan,ini tidak pernah terfikirkan dari benak saya kalau nomor yang saya pasang bisa tembus dan ALHAMDULILLAH kini saya sekeluarga sudah bisa melunasi semua hutang2 kami,sebenarnya saya bukan penggemar togel tapi apa boleh buat kondisi yang tidak memunkinkan dan akhirnya saya minta tolong sama aki sUkrO dan dengan senang hati aki sUkrO mau membantu saya..,ALHAMDULIL LAH nomor yang dikasi aki sUkrO semuanya bener2 terbukti tembus dan baru kali ini saya menemukan dukun yang jujur,jangan anda takut untuk menhubungiya jika anda ingin mendapatkan nomor yang betul2 tembus seperti saya,silahkan hubungi aki sUkrO DI =081 242 333 760 ingat kesempat tidak akan datang untuk yang kedua kalinya dan perlu anda ketahui kalau banyak dukun yang tercantum dalam internet,itu jangan dipercaya kalau bukan nama aki sUkrO

apakah anda termasuk yang tercantung di bawah ini.?
1. Di Lilit Hutang
2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel
3. Barang berharga Anda udah Habis Buat Judi Togei
4. Anda Udah ke mana-mana tapi tidak menghasiikan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…!!!
Anda sudah berada Di blog yang sangat tepat anda bisa rubah nasib disini dengan angka rit
al 2D=3D=4D
Kami akan membantu anda semua dengan Angka 2D 3D atau 4D hAsil Riktual Kami
Anda Cukup Mengganti Biaya Riktual Angka Nya Saja 300rb Dengan
cara kirim pulsa 300 ribu di no:081 242 333 760
kami hanya membantu anda semua dengan Angka ritual Kami..Kami dengan bantuan Supranatural Bisa menghasilkan Angka Ritual Yang Sangat Mengagumkan…Bisa Menerawang Angka Yang Bakal Keluar Untuk Toto Singapore Maupun Hongkong…Kami bekerja tiada henti Untuk Bisa menembus Angka yang bakal Keluar..dengan Jaminan 100% gol / Tembus…!!!! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Otimis Anda bisa Menang…!!!
Jika anda Membutuhkan Angka Ghoib Hasil Ritual aki sUkrO 2D,3D,4D di jamin Tembus 100% terimakasih