Malaikat Purbaya, Majalah Story Edisi 24, Juli-Agustus

Tuhan tak seharusnya menciptakan malaikat kembar. Sepasang malaikat yang lahir dari satu rahim, berwajah sama, dan diberi nama serupa. Seperti halnya aku dan Raya. Seperti halnya juga kenyataan yang kubenci tiap kali kutatap wajahku di cermin dan menyaksikan wajah yang bukan hanya milikku itu.

Orang tuaku sedang meributkan tentang kemana kami harus melanjutkan kuliah nanti. Padahal baru kemarin kami naik ke kelas XII. Raya meraih predikat juara umum se-sekolah sementara aku harus dipanggil ke ruang konseling bersama Mama untuk mendengarkan ceramah dari guru dikarenakan tingkah lakuku yang begitu sering membolos sekolah. Mama meradang. Beliau tidak tahu aku membolos dan sebuah tamparan melayang tepat di pipi kananku.

“Mau jadi apa kamu, Gus?!” katanya membentak. Aku diam.

Agustino Raya Purbaya namaku. Agustina Raya Purbaya namanya. Kami berdua laki-laki. Dan sebetulnya, aku ingin menjadi Raya. Maksudku, aku ingin bisa diperlakukan sama dengan Raya. Sungguh lucu, aku masih ingat betul, di kelas 1 SD, manakala Raya meraih ranking 1 dan aku yang hampir tidak naik kelas itu, aku merasakan perubahan perlakuan dari kedua orangtuaku. Dari lingkungan sekelilingku. Dari semuanya. Rasanya, dunia begitu tidak adil. Jika, ada dua orang yang berbagi rahim yang sama dalam satu waktu, mengapa hasilnya justru begitu berbeda? Aku yang lahir beberapa detik lebih dulu seharusnya dilebihkan. Atau minimal mendapatkan kasih sayang yang sama.

“Kedokteran?”

“Humm, bukan bukan, kamu sebaiknya masuk STAN saja.”

“Tapi Mama mau Raya jadi dokter.”

Lagi-lagi Papa dan Mama berdebat. Aku mencuri dengar dari dalam kamar dan sepertinya Raya masih diam saja. Andailah mereka memperdebatkan masa depanku, aku akan senang sekali. Tetapi, hal ini benar-benar jauh panggang dari arang. Mustahil.

Tiba-tiba aku merasa haus dan membuka pintu untuk mengambil minum di dapur. Sengaja tak kuacuhkan situasi di ruang tengah itu dan kulangkahkan kaki agak tergesa.

“Kak Agus….” Raya memanggilku.”Kakak mau kuliah di mana?” Mama dan Papa ikut-ikutan menoleh ke arahku gara-gara pertanyaan Raya.

Aku tersenyum. Dikulum. “Hmm… belum kepikiran,” jawabku sekenanya.

“Raya ingin kuliah bareng Kak Agus,” jawab Raya lagi.

Sesungguhnya, memang Raya cukup lengket denganku. Sebagai kakak satu-satunya, dan kembar pula, dari kecil hingga sekarang Raya memang tidak mau lepas dariku. Raya yang sering menangis di sekolah itu harus berlari ke kelasku—karena dia ditempatkan di kelas unggulan—dan mengadu jika ada anak-anak yang mengganggunya. Aku yang terkenal badung langsung turun tangan dan nangani mereka sampai guru-guru memisahkan kami. Mungkin baginya aku seperti kakak yang baik.


~


Raya sakit lagi. Ia harus menjalani rawat inap. Hal itu membuat semua perhatian tertuju kepadanya.

Raya memang sering sakit-sakitan semenjak kecil. Orang-orang bilang itu gara-gara kami kembar. Aku kembali disalah-salahkan dengan dikatakan telah mengambil energi yang milik Raya. Ada-ada saja, zaman sudah modern begini, masih ada saja yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Aku tidak tahu pastinya sakit apa yang diderita Raya. Aku tidak mau tahu.

Belum jam istirahat, aku sudah ke kantin. Beginilah kebiasaanku sehari-hari di sekolah, jika dirasa bosan, aku akan keluar kelas atau membolos.

“Lagi-lagi kamu di sini…” Alina. Pacarku.

“Kau?” Aku balik bertanya kenapa dia keluar kelas.

“Sedang tidak ada guru. Jam kosong.”

Kami tidak sekelas. Raya yang sekelas dengan Alina, salah satu gadis paling manis di sekolah ini. Aku tersenyum miris, bahkan di kelas unggulan pun ada guru yang lalai mengajar dengan alasan rapat dan lain-lain.

“Raya sakit lagi?” Nadanya tampak khawatir.

“Hmm….” Aku mengangguk.

Sebenarnya aku merasa cemburu tiap kali Alina bertanya tentang Raya. Banyak dari pembicaraan yang kami lakukan adalah tentang Raya, tentang kekagumannya terhadap Raya.

“Dia sakit apa sih?”

“Entahlah….”

“Kamu kan kakaknya?”

Aku diam, memainkan gelas yang sudah kosong. “Bisa tidak, sekali ini saja, kita tidak berbicara tentang Raya?”

Akhirnya Alina diam. Kemudian ia menggenggam tanganku. “Apa kamu cemburu, Sayang?”

Saat-saat seperti ini selalu saja meluluhkan aku. Tangannya begitu hangat.


~


Sudah hari ketiga Raya di rumah sakit. Semalam Mama pulang dalam keadaan lelah dan langsung masuk kamar. Papa tidak mungkin ikut menjaga Raya karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkannya itu.

“Ma, mau teh hangat?”

Belum ada jawaban. Tampaknya beliau tertidur.

Aku ke dapur, memasak air panas.

Aku memang terbiasa dengan pekerjaan semacam ini. Mama memutuskan tidak memakai pembantu. Segalanya biasa ia urus sendiri. Manakala kami sudah dinilai ‘besar’, ia mengamanahkan rutinitas kepada kami seperti mencuci baju, menguras dan menyikat kamar mandi. Rutinitas yang belakangan sering kukerjakan sendiri karena kondisi fisik Raya yang terus-terusan bermasalah.

“Kak, Raya yang nyikat bak mandi ya?” pinta Raya suatu hari.

“Tidak usah. Biar kakak saja,” jawabku.

“Kakak jadian ya dengan Alina?” tanyanya lagi.

“Humm…”

“Bahagianya bisa berpacaran dengan gadis secantik dia, ya, Kak?”

“Kamu suka dia?” Aku balik penasaran.

“Dia temanku, Kak.”

“Hanya teman?”

“Ya.”

“Lalu, siapa yang kamu sukai, kok kakak tidak pernah tahu apa-apa tentang hal ini?”

Raya diam sejenak. “Aku tidak punya hak untuk menyukai siapa pun, Kak…” Ekspresinya terlihat sedih. Aku tidak berani bertanya lagi.

Mungkin sejak saat itu pula aku jadi marah tiap kali Alina bertanya tentang Raya. Entah ini sekadar cemburu yang tak beralasan atau intuisi laki-laki, ada yang berbeda dari tiap kali mereka menyebut nama masing-masing. Seperti cinta. Mungkin pula sebenarnya aku menyayangi Raya sebagai saudara satu-satunya yang kumiliki. Aku tidak tahu banyak tentang cinta dan kasih sayang. Aku tidak banyak mengenal hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Tapi apalah perasaan, cuma gerimis di bumi saat menunggu bis terakhir sebelum senja tiba….1)

Suara katel yang nyaring itu membuyarkan lamunanku. Tepat pada saat itu, Mama memanggilku.


~


Konon, dunia diciptakan dalam enam hari. Waktu begitu cepat berlalu dan di hari keenam aku menjenguk Raya. Kemarin, Mama pulang dengan wajah sembab. Ia tidak bercerita apa pun. Tapi, aku tahu sepertinya ini berat baginya.

“Besok, jenguklah adikmu, ya?”

Aku diam.

“Mama tidak tahu ada masalah apa kamu dengan Raya sehingga sudah lima hari ini kamu memilih berdiam di rumah, tetapi Raya bilang dia rindu kepadamu, Gus.”

Sebenarnya aku sangat ingin menjenguknya dari kemarin, tetapi kuurungkan niat tersebut karena tiba-tiba aku mengetahui bahwa Alina telah lebih dulu menjenguk Raya tanpa sepengetahuanku.

Raya tergeletak lemas. Ia tampak begitu pucat dan kurus. Selama ini Raya memang sudah cukup kurus, tetapi kali ini ia benar-benar kurus dengan hanya lembaran kulit membungkus tulang-tulangnya. Sementara meja di sampingnya menghidangkan buah-buahan yang utuh—tidak tampak bekas ada yang dimakan. Dan bunga.

“Bunga?”

Raya diam. Aku paham.

“Alina?”

Ia mengangguk.

“Kak…apakah Tuhan menciptakan malaikat kembar di hari ketujuh?”

“Seperti Raqib dan Atid?”

“Tidak, bukan itu, seperti seharusnya kita?”

“Seharusnya?”

“Ya.”

“Seperti seharusnya aku sepintar dan sebaik dirimu?”

“Seperti seharusnya aku segagah Kakak.”

“Jangan berkata seperti itu….”

“Aku ingin seperti kakak. Aku ingin bisa berlari sekencang-kencangnya, berkelahi, mencintai….”

“Kamu mencintai Alina?”

“Aku tidak berhak mencintai siapa pun, Kak…apalagi dicintai….”

“Kenapa?”

Raya kembali diam. Air mata mulai mengalir pelan-pelan. “Se…sebab, aku tidak mau orang yang kucintai menangis karena aku.” Ia mengelap matanya, “Karena pada akhirnya, mereka juga akan kehilangan aku….”


~


Jika Tuhan menciptakan dunia selama enam hari, pastilah di hari ketujuh, Ia memikirkan bagaimana caranya mendatangkan kematian. Seperti halnya kematian Raya yang begitu cepat. Tepat di hari ketujuh, setelah bertemu denganku, Raya akhirnya mau dioperasi. Dan setelah itu, ia meninggalkan kami.

Alina menangis sejadi-jadinya. Darinya aku kemudian tahu, yang dicintainya memanglah Raya. Bukan aku. Semuanya hanya gara-gara fisik kami yang serupa. Sebelumnya ia pun sudah ditolak Raya.

Aku tidak ingin mengerti arti kehilangan. Seperti yang Papa, Mama, dan Alina rasakan. Aku benci mereka. Papa. Mama. Alina. Bahkan Raya. Aku benci sampai aku tidak tahu kenapa bukan aku yang dianugerahi segala cinta dan kasih sayang itu.

Ah, Tuhan, kenapa bukan aku saja yang Kau matikan?***


(2011)


1) Saut Situmorang, Lirisisme

Comments

Anonymous said…
cerpen kakak ini yang membuatku pingin nulis lagi
tak hanya keren tapi juga penuh inspirasi
membaca cerpen itu seperti nonton film kartun,kadang tidak masuk akal, jadi yaaaa santai aja
Anonymous said…
Aku suka, cerita-nya mengalir. Membaca cerpen ini, pikiranku berkata kalau orang yang membuat cerpen ini adalah sosok yang melankolis. Hmmh...tapi kenapa tokohnya bukan perempuan saja? Meurutku, karakter tokoh si kembar lebih cocok untuk karakter perempuan.
Selly MR said…
Klo boleh berkomentar. ak gak mau terlalu jauh komentar ttng tulisan yg sudah bagus ini, tapi ttng warna blognya. Bikin pembaca susah aja bacanya :)