Rilke, Kepada Penyair Muda

Engkau bertanya apakah sajak-sajakmu baik. Engkau bertanya padaku. Sebelum ini engkau telah menanyai orang lain. Kau kirimkan sajak-sajakmu ke berbagai majalah. Kau bandingkan karyamu dengan sajak-sajak orang lain, dan engkau gelisah bila ada redaksi majalah yang menolak sajak-sajakmu. Sekarang kuminta agar kau jangan memperdulikan semua itu. Tidak ada orang yang dapat memberimu nasihat dan pertolongan, tidak seorangpun. Hanya ada satu jalan saja, masuklah ke dalam dirimu.

DEMIKIAN Rainer Maria Rilke (1875-1926) mengawali tulisannya “Kepada Penyair Muda” yang dimuat dalam Majalah Sastra Horison No.2 Thn.II Februari 1967 terjemaahan Taufiq Ismail, yang diambilnya dari “Surat-surat Kepada Seorang Penyair Muda”. Sayang, dalam tulisan tersebut Rilke tidak menyebut nama siapa pun yang disebut atau dimaksudnya sebagai “penyair muda” itu. Bahkan, dalam majalah sastra yang terbit 40 tahun yang lalu itu, ketimbang terbaca sebagai sebuah surat seperti yang menjadi sumber pemuatannya, tulisan itu lebih mirip sebuah esai yang penuh pesan kepenyairan ketimbang sebuah surat. Tapi jika hendak disebut sebagai sebuah surat, maka agaknya “surat” itu ia tujukan pada penyair muda di sembarang tempat dan waktu.

Seperti juga Goethe, Schiller, Heine, Holderlin, Brecht, atau Paul Celan, Rilke adalah seorang penyair yang karya-karyanya tak bisa disendirikan dari perkembangan kesusastraan Jerman. Dipengaruh oleh para tokoh simbolisme Prancis seperti Baudelaire, Rimbaud, dan Mallarme, dan filsafat eksistensialisme Kiekegaard, Rilke banyak disebut sebagai penyair Jerman terbesar dalam abad ke-20. Penyair yang juga dinilai sebagai pembaharu perpuisian Jerman ini bahkan dipandang sebagai raksasa puisi Jerman.

Dalam khazanah perpuisian Indonesia modern, karya-karya Rilke telah dikenal sejak generasi Chairil Anwar hingga pengaruhnya yang terasa sajak-sajak Saini K.M. Setelah satu dua puisinya termuat dalam beberapa antologi, sebutlah “Puisi Dunia” (1952) terjemaahan Taslim Ali dan “Kau Datang Padaku” (1994) terjemaahan Bertold Damhauser dan Ramadhan K.H.; terakhir tahun 2003 sejumlah puisi Rilke diterbitkan dalam bahasa Indonesia “Padamkan Mataku” terjemaahan Krista Saloh-Forster.

Seperti di ujung kutipan di atas, tulisan Rilke berangkat dari keinginan menjelaskan sejumlah pesan dan pandangannya pada penyair muda, betapa sesungguhnya tak ada yang dibutuhkan bagi seorang penyair, melainkan pertanyaan dari mana puisi itu datang , mengapa ia harus ditulis, dan untuk siapa ia ditulis? Pertanyaan ini menjadi menarik karena dengan itu Rilke lantas menjelaskan pesan dan pandangannya ihwal puisi dan pengakuan atas eksistensi kepenyairan.

Dalam konteks hari ini, pandangan dan seluruh pesan Rilke agar seorang penyair muda tidak usahlah kelewat nyinyir bertanya ke sana ke mari tentang mutu karyanya, lalu gelisah dan gundah gulana jika tak dimuat di majalah atau media-massa, tentu saja terasa ganjil. Pesan itu seakan menyatakan puisi bukanlah sesuatu yang layak diperbincangkan dan dipertanyakan. Namun agaknya bukan ihwal itu yang hendak ditekankan Rilke. Melainkan pendapatnya, bahwa bermutu tidaknya sebuah puisi amat ditentukan oleh sejauh mana seorang penyair mampu secara total masuk ke dalam dirinya. Dan inilah satu-satunya jalan sehingga puisi itu lahir dan menunjukkan mutunya.

Meski terkesan kelewat romantik, namun pandangan Rilke menjurus ke arah pertanyaan yang menarik; untuk siapa sesungguhnya seseorang menulis puisi? Apakah untuk selera kritikus atau penyair yang dianggap “senior” sehingga ia direstui dan dilegitimasi sebagai penyair? Apa untuk selera redaktur koran dan majalah agar puisinya dimuat?
**
DAN jawaban atas seluruh pertanyaan itu dalam pandangan Rilke amat bergantung pada sampai sejauh mana seseorang menguji motivasi dirinya. “Temukan sebab yang mendorongmu menulis; ujilah sebab itu, apakah benar ia berakar dalam lubuk jantungmu, dan berterus-teranglah dengan dirimu sendiri apakah engkau akan mati jika dilarang menulis. Dan apabila proses masuk ke dalam ini, lahir sajak-sajak, janganlah minta pendapat siapa juga apakah sajakmu bagus atau tidak. Karena di dalam sajakmu itu kau lihat milik sejatimu yang kau cintai, sebuah suara dalam kehidupanmu. Suatu karya seni berguna apabila ia tumbuh dari suatu kemestian, “tulis Rilke.

Rilke tampaknya amat menegaskan betapa puisi haruslah merupakan gerak pengalaman seorang individu yang menyelusuri seluruh bagian pengalaman dalam dirinya. Dan gerak inilah yang harus menjadi hulu dari penciptaan sebuah puisi. Gerak yang tak bisa dicegah dan didorong oleh kepentingan apapun ---termasuk kepentingan untuk disebut penyair---kecuali keperluan dan kebutuhan untuk bergerak menulis itu sendiri. Maka soalnya lantas bukan melulu apakah puisi itu bagus atau tidak, tapi sampai sejauh mana puisi itu bisa menghadirkan sebuah totalitas dari seorang “Aku” dengan seluruh pengalaman, harapan, dan kecemasan-kecemasannya, yang berbeda dengan individu-individu lainnya. Seluruh totalitas inilah yang niscaya akan tampak dalam pencapaian bentuk estetika puisinya.

“Karena itu, saudaraku yang terhormat, “ tulis Rilke lagi, “Tidak ada nasihat lain yang bisa kuberikan kecuali ini: masuklah ke dalam dirimu sendiri dan selamilah pada kedalaman mana sumber kehidupanmu memancar. Mungkin ternyata untukmu ada panggilan untuk menjadi seorang penyair. Jika memang demikian, tempuhlah jalan ini dan pikul nasibmu di atas bahumu, segala berat beban dan segala kebesarannya, tanpa satu kalipun menuntut penghargaan yang mungkin datang dari luar.”

Tulisan Rilke yang ditujukan pada penyair muda itu memang lebih banyak merupakan nasihat bagaimana hendaknya puisi lahir dan ditulis dari sebuah keikhlasan sehingga penyair hadir sebagai individu. Bukan pengekor dari pandangan dan estetika tertentu yang sedang menjadi trend atau yang menjadi standard estetika para kritikus dan para redaktur.

Namun begitu ada juga ditulisnya sedikit pesan yang dibayangkan bisa berguna dalam praktik penciptaan puisi, yang tetap berangkat dari semangat nasihat yang sama. Puisi sebagai diri penyair bagi Rilke tidaklah bergantung pada situasi apapun yang kerap disalahkan karena dianggap tidak inspiring dan tidak melahirkan ide-ide puitik. Melainkan amat bergantung pada kekuatan penyair untuk, sekali lagi, masuk ke dalam dirinya, dan dari dalam dirinya itulah ia menghayati alam realitas.

“Jika kehidupanmu sehari-hari tampak terlalu kering bagimu, janganlah salahkan kehidupan itu; salahkan dirimu sendiri, katakan pada dirimu, bahwa engkau belum cukup penyair untuk menggali kekayaan dalam tambang kehidupan; karena bagi seorang pencipta tidak ada kemiskinan bahan dan tidak ada tempat yang kurang atau tidak berarti.”

Penyatuan dengan kehidupan dan realitas menjadi pintu pertama bagi penyair untuk masuk mengeksplorasi seluruh pengalamannya sebagai individu. Dan itu tak akan mungkin berlangsung selama penyair hanya asyik dengan tema dan soal-soal besar yang jauh dan yang sesungguhnya tidaklah dikenalinya dan tak dekat dengan pengalaman dirinya. Seorang penyair mestilah awas dan kritis pada setiap bagian dari kehidupannya, bahkan yang paling sepele sekalipun.

“Kemudian mendekatlah kepada Alam. Dan cobalah, seakan-akan engkau orang pertama, katakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami dan apa yang kau cintai dan apa yang kau ratapi. Berpalinglah kepada tema kehidupanmu sehari-hari. Apalagi yang harus kukatakan padamu? Setiap persoalan rasanya sudah kududukkan pada tempatnya; sebagai penutup kata aku ingin menyarankan agar kau mengembangkan pertumbuhanmu dengan penuh kesungguhan dan tanpa gembar-gembor,” tulis Maria Rainer Rilke. (Ahda Imran)


SUMBER : Khazanah Pikiran Rakyat 2007 (tanggal & bulan tak terlacak)

Comments

Timur Budi Raja said…
Menjadi penyair, perjuangan terus-menerus melawan diri sendiri. Tabik!!