Bulan Kusut Api
Bulan Kusut Api
Pringadi Abdi Surya
dimuat pertama kali di annida-online.com
Pungguk merindukan bulan
Sebagaimana mestinya, sebagian besar laki-laki percaya perihal jatuh cinta pada pandangan pertama. Sementara sisanya memilih berpendapat bahwasanya cinta itu adalah proses, setelah mengalami penjajakan tertentu yang menimbulkan rasa aman, nyaman dan kepercayaan.
Malam tadi, bulan dilingkari kubah raksasa. Ia nampak seperti telur mata sapi yang digoreng matang sempurna dengan minyak yang bukan jelantah sehingga tak ada noda yang menghiasi putihnya yang selama ini didzalimi oleh mitos. Bahwa makan putih telur itu tidak ada gunanya. Yang paling bergizi adalah bagian yang berwarna kuning. Padahal sebaliknya, kuning telur justru mengandung kolesterol yang tinggi!
Orang-orang pintar berkepala plontos menyebutnya haloo, yang memang lebih populer untuk matahari – sejenis fenomena optik yang terjadi akibat adanya es dalam awan sirus yang dingin. Biasanya awan ini terletak pada ketinggian 5–10 km di lapisan troposfer atas. Bentuk dan orientasi kristal-kristal ini menentukan bentuk haloo yang terjadi. Aku menganggapnya kubah yang megah. Orang-orang Ambon menyebutnya payung bulan. Tetapi apapun itu, konon ia menjadi pertanda akan pergantian musim. Seperti malam tadi, yang memulai kulminasi matahari keesokan hari, haloo menampakkan diri.
Pengalaman pertama aku melihatnya, tentu aku jatuh cinta. Kata ganti –nya di sini tidak menjadi milik bulan semata sebab sudah kukatakan semula bahwa bulan dalam pikiranku adalah metafora. Ia adalah lambang sesuatu (atau lebih tepat seseorang) yang kupikir bisa membuat jantungku seperti diketuk dengan cepat untuk mempersilahkannya masuk dan menyambutnya dengan secangkir teh bersama makanan-makanan ringan khas musim panas.
Namanya Alina. Tujuh dari sepuluh laki-laki pasti akan bilang dia cantik.
Jika rambut yang kusut bisa disisir, bagaimana dengan hati?
Aku termasuk satu dari tiga lelaki yang tersisa. Alina tidak cantik, tetapi sangat cantik. Kau mau tahu bagaimana caraku berkenalan dengannya?
“Hei, kau Alina, bukan?”
“Ya, kamu siapa?”
“Boleh aku tahu tanggal lahirmu?”
“Untuk apa kamu tahu tanggal lahirku?”
“Tidak untuk kusantet tentunya....”
“ 24 April. Ada apa?”
“Pasti hujan.”
“Hujan?”
“Ya, karena semua malaikat menangis kehilangan bidadari seindah dirimu, Lin...”
Dan dia tertawa. Merah pipinya. Wanita cantik jika tersipu akan terlihat lebih cantik. Dadaku yang biasanya berdetak seirama dengan detik jam dinding mendadak secepat shinkansen itu.
“Kau mau ke Kemaro ya, Selasa besok?”
“Apa urusanmu?”
“Jadi kau akan bolos sekolah?”
“Jangan banyak tanya!”
“Seperti tahun-tahun sebelumnya?”
“Apa yang kau tahu tentang tahun-tahun milikku sebelumnya itu?”
“Tidak banyak.”
“Apa?”
“Aku suka melihat kau mengepang rambutmu dan caramu mengenakan baju berwarna merah itu.”
Alina diam. Di desa kami, memang sedikit orang Cina. Lebih sedikit lagi orang Cina yang kurang berkecukupan. Dan hampir semua yang berkecukupan itu selalu menutup diri dari masyarakat sekitar. Keneng yang toke bangunan itu memagari area rumahnya (yang seperti istana) dengan tembok lebih dari tiga meter. Tembok yang kami coret-coreti dengan kapur-kapur berwarna dan kami pukul-pukul dengan batu sampai batakonya retak, bolong, dan kami bisa mengintip ke dalam. Yang kami lihat, adalah beberapa bangunan bertingkat dan alat-alat berat yang hanya bisa kami lihat jika ada perbaikan jalan raya. Karena sikap yang tertutup dan arogan itulah, penduduk asli kerap tidak menyukai orang-orang Cina.
Alina bukan keluarga Cina yang kaya, tetapi tetap kena imbasnya. Ko Awi, ayah Alina, hanya berjualan oli dan spare part kendaraan bermotor di ruko yang disewakan Ko Ahong—yang juga memiliki perternakan ayam di Talang Ilir. Aku pertama melihatnya di kelas 1 SMA, semester kedua, Alina baru pindah dari Martapura. Tidak seperti perempuan Cina pada umumnya yang bermata sipit, Alina tidak bermata terlalu sipit. Kulitnya putih dan sepertinya begitu halus (aku belum pernah bersentuhan dengannya). Kontras dengan itu, rambutnya yang dibiarkan panjang terlihat begitu hitam dan lebat. Melihat dirinya pertama kali, aku langsung kepincut. Dan butuh waktu nyaris dua tahun, ketika takdir akhirnya menempatkan aku dan dia di kelas yang sama, untuk sekadar berkenalan.
“Kamu jangan menggodaku lagi!”
“Aku tidak menggodamu....”
“Laki-laki mana yang bukan penggoda?”
“Aku hanya ingin berteman denganmu.”
“Teman?”
“Kau belum punya pacar?”
Alina terdiam. Diamnya itu mengingatkan aku pada dirinya setahun yang lalu ketika kulihat ia berbaju merah bersama keluarganya menyetop angkutan pedesaan warna hijau di depan simpang Talang Bulu itu. Seperti tahun sebelumnya juga, ia akan pergi ke pulau Kemaro, ke kelenteng-kelenteng, sembahyang, dan merayakan tahun baru di sana. Tidak pernah ada tahun baru Cina di desa kami. Tidak pernah ada izin bagi non-pribumi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan resmi. Aku tidak mengerti pasal apa yang bisa melarang-larang hak asasi untuk bahagia. Mungkin karena Keneng yang tidak pernah mau menyumbang tiap kali AMS meminta dana pengembangan olahraga. Mungkin karena Ahong tidak mau bertanggungjawab pada limbah kotoran ayam di kali. Mungkin karena hal-hal itulah, masyarakat dendam kepada orang Cina.
Mencintaimu juga berarti membakar diri sendiri....
Seorang pria Cina bernama Tan Bun Ann pernah menginginkan putri raja Sriwijaya dengan syarat sembilan guci emas. Sedang aku seorang putra Palembang menginginkan putri Cina harus mengorbankan segala ikatan keluarga.
“Kalau kau masih bilang mencintai Alina, kau bukan anakku lagi!” Bapak berkata demikian. Aku diam dalam keheningan.
Aku belum pernah melawan bapakku. Hubunganku dengan Alina yang tidak pernah diresmikan dengan agenda penembakan ala anak muda pada umumnya itu memang kusadari tidak jelas di mana ujungnya. Apalagi bapakku adalah seorang penceramah, seorang da’i. Hubungan berbeda agama, apalagi Cina, membuatnya naik darah.
“Cina itu komunis! Komunis pernah membantai orang-orang Islam. Membakar mesjid. Mengencingi Alquran. Kau masih ingin mencintai orang-orang macam itu?”
Aku tidak berani menjawab.
Ketika kutemui Alina yang memutuskan tidak melanjutkan sekolahnya ke bangku universitas, dan memilih membantu toko ayahnya, kulihat ia semakin cantik saja. Belakangan tokonya makin ramai karena para lelaki hidung belang berdatangan demi menggoda Alina dengan dalih ganti oli atau membenarkan busi.
“Sudah hampir satu tahun ya?” Dia memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Kita.”
“Sudah mau tahun baru, kau mau ke Kemaro lagi?”
“Kau keliru.”
“Keliru?”
“Ya, ada imlek ada Cap Go Meh.”
“Kenapa semuanya berwarna merah?”
“Kilin takut warna merah.”
“Kilin?”
“Aku mau mengajakmu ke Kemaro. Kalau kamu mau....”
Jelas aku mau. Tetapi, aku tidak tahu caranya.
“Dulu, Tan Bun Ann ingin melamar Siti Fatimah. Seandainya ia bisa sedikit lebih sabar dan tidak mementingkan harga diri, ia tidak akan menendang kesembilan guci emas itu. Ya, di guci kesembilanlah ia baru menyadari kebenaran. Dan karena rasa bersalahnya, ia memutuskan melompat ke dalam air.”
“Bagaimana dengan Siti Fatimah?”
“Ia pun melompat ke dalam air.”
“Hah? Bodoh sekali!”
“Tidak bodoh. Itulah cinta.”
Aku tertegun. “Haruskah cinta melenyapkan pelakunya, Lin?”
Giliran dia yang diam.
Aku memandangi rambut hitamnya yang sudah melebihi bahu. Matanya begitu jernih. Bibirnya begitu tipis. Dan kulitnya yang benar-benar putih itu.
“Apa mungkin kita bersatu, Lin?” Aku kembali bertanya. Dan matanya pun berkaca-kaca.
Aku mencintai hidup dan matimu....
Suatu hari yang tak lagi ada Alina, aku benar-benar mengunjungi Kemaro. Sejumlah orang memotong kambing hitam di gundukan tanah yang diyakini sebagai makam Siti Fatimah. Banyak orang keluar-masuk kelenteng. Aku hanya terpaku pada sebatang pohon yang dikerubuti banyak pasangan muda. Aku bertanya kepada seorang pengunjung, “Pohon apa itu?” Ia bilang itu adalah pohon cinta. Barang siapa menuliskan namanya di sana (bersama nama kekasihnya) maka hubungan keduanya tidak akan bisa dipisahkan.
Hari ke-15 adalah Cap Go Meh. Aku baru mengerti bedanya. Jika Tahun Baru Imlek sebagian besar merupakan pesta keluarga, yang upacaranya dilakukan di dalam masing-masing rumah, maka Capgomeh merupakan pesta masyarakat yang upacaranya dilakukan di luar bangunan gedung rumah dan di jalan-jalan, berpusat pada kelenteng (tempat ibadat agama, kepercayaan dan tradisi Tionghoa).
Malam nanti diprediksi cerah. Bulan akan purnama. Sudah tujuh tahun berlalu, aku masih merindukan Alina. Aku saksikan orang-orang berkulit serupa dengannya di sini. Sekarang, mereka telah terbebas dari stereotip non-pribumi. Aku termasuk yang bahagia. Tetapi, tetap saja ada yang mencibir dan melempar tafsir yang sama seperti dulu. Bapakku juga. “Lihat Keneng dan Ahong, apa mereka pernah kumpul dan berbaur dengan masyarakat?” begitu tanyanya. Dan memang tak bisa kutampik. Orang-orang Cina kaya di desa kami masih saja bersikap tertutup dan menunjukkan arogansinya.
Aku mendekati pohon cinta itu. Alina mungkin ingin mengajakku kemari. Tetapi, memang tak lama setelah ajakan itu, ia harus angkat kaki dan berangkat ke Taiwan. Aku tidak tahu kenapa. Kabarnya seorang pria kaya di sana telah melamar Alina lewat saudara jauhnya. Tetapi, aku yakin Alina tidak mau kalau tidak terpaksa. Keadaan yang telah memaksa. Huru-hara beberapa tahun lama memang telah mengusir banyak orang Cina di negeri ini. A Hen yang Cina, tetapi muslim, bahkan harus memasang sajadah di tiap jendela luar toko dan rumahnya untuk membuktikan ia adalah muslim. Aneh. Kenapa harus simbol-simbol Islam yang dijadikan tameng perlindungan? Apakah Islam sedemikian barbarnya untuk melakukan pengrusakan?
Aku pandangi pohon itu baik-baik. Seorang anak kecil menarik ujung kausku dan menawarkan kue keranjang kepadaku. Aku berjongkok dan tersenyum kepada anak kecil itu. Ibunya yang kemudian tergopoh menyusulnya juga ikut tersenyum kepadaku. Ia menyapa dan bertanya apa aku pertama kali datang kemari. Aku tidak menjawab. Karena saat aku berjongkok itulah kulihat sepasang nama di pohon cinta itu. Tulisan yang lugu dan malu-malu. Alina. Dan aku.
(Kepu Dalam, 2011)
Pringadi Abdi Surya
dimuat pertama kali di annida-online.com
Pungguk merindukan bulan
Sebagaimana mestinya, sebagian besar laki-laki percaya perihal jatuh cinta pada pandangan pertama. Sementara sisanya memilih berpendapat bahwasanya cinta itu adalah proses, setelah mengalami penjajakan tertentu yang menimbulkan rasa aman, nyaman dan kepercayaan.
Malam tadi, bulan dilingkari kubah raksasa. Ia nampak seperti telur mata sapi yang digoreng matang sempurna dengan minyak yang bukan jelantah sehingga tak ada noda yang menghiasi putihnya yang selama ini didzalimi oleh mitos. Bahwa makan putih telur itu tidak ada gunanya. Yang paling bergizi adalah bagian yang berwarna kuning. Padahal sebaliknya, kuning telur justru mengandung kolesterol yang tinggi!
Orang-orang pintar berkepala plontos menyebutnya haloo, yang memang lebih populer untuk matahari – sejenis fenomena optik yang terjadi akibat adanya es dalam awan sirus yang dingin. Biasanya awan ini terletak pada ketinggian 5–10 km di lapisan troposfer atas. Bentuk dan orientasi kristal-kristal ini menentukan bentuk haloo yang terjadi. Aku menganggapnya kubah yang megah. Orang-orang Ambon menyebutnya payung bulan. Tetapi apapun itu, konon ia menjadi pertanda akan pergantian musim. Seperti malam tadi, yang memulai kulminasi matahari keesokan hari, haloo menampakkan diri.
Pengalaman pertama aku melihatnya, tentu aku jatuh cinta. Kata ganti –nya di sini tidak menjadi milik bulan semata sebab sudah kukatakan semula bahwa bulan dalam pikiranku adalah metafora. Ia adalah lambang sesuatu (atau lebih tepat seseorang) yang kupikir bisa membuat jantungku seperti diketuk dengan cepat untuk mempersilahkannya masuk dan menyambutnya dengan secangkir teh bersama makanan-makanan ringan khas musim panas.
Namanya Alina. Tujuh dari sepuluh laki-laki pasti akan bilang dia cantik.
Jika rambut yang kusut bisa disisir, bagaimana dengan hati?
Aku termasuk satu dari tiga lelaki yang tersisa. Alina tidak cantik, tetapi sangat cantik. Kau mau tahu bagaimana caraku berkenalan dengannya?
“Hei, kau Alina, bukan?”
“Ya, kamu siapa?”
“Boleh aku tahu tanggal lahirmu?”
“Untuk apa kamu tahu tanggal lahirku?”
“Tidak untuk kusantet tentunya....”
“ 24 April. Ada apa?”
“Pasti hujan.”
“Hujan?”
“Ya, karena semua malaikat menangis kehilangan bidadari seindah dirimu, Lin...”
Dan dia tertawa. Merah pipinya. Wanita cantik jika tersipu akan terlihat lebih cantik. Dadaku yang biasanya berdetak seirama dengan detik jam dinding mendadak secepat shinkansen itu.
“Kau mau ke Kemaro ya, Selasa besok?”
“Apa urusanmu?”
“Jadi kau akan bolos sekolah?”
“Jangan banyak tanya!”
“Seperti tahun-tahun sebelumnya?”
“Apa yang kau tahu tentang tahun-tahun milikku sebelumnya itu?”
“Tidak banyak.”
“Apa?”
“Aku suka melihat kau mengepang rambutmu dan caramu mengenakan baju berwarna merah itu.”
Alina diam. Di desa kami, memang sedikit orang Cina. Lebih sedikit lagi orang Cina yang kurang berkecukupan. Dan hampir semua yang berkecukupan itu selalu menutup diri dari masyarakat sekitar. Keneng yang toke bangunan itu memagari area rumahnya (yang seperti istana) dengan tembok lebih dari tiga meter. Tembok yang kami coret-coreti dengan kapur-kapur berwarna dan kami pukul-pukul dengan batu sampai batakonya retak, bolong, dan kami bisa mengintip ke dalam. Yang kami lihat, adalah beberapa bangunan bertingkat dan alat-alat berat yang hanya bisa kami lihat jika ada perbaikan jalan raya. Karena sikap yang tertutup dan arogan itulah, penduduk asli kerap tidak menyukai orang-orang Cina.
Alina bukan keluarga Cina yang kaya, tetapi tetap kena imbasnya. Ko Awi, ayah Alina, hanya berjualan oli dan spare part kendaraan bermotor di ruko yang disewakan Ko Ahong—yang juga memiliki perternakan ayam di Talang Ilir. Aku pertama melihatnya di kelas 1 SMA, semester kedua, Alina baru pindah dari Martapura. Tidak seperti perempuan Cina pada umumnya yang bermata sipit, Alina tidak bermata terlalu sipit. Kulitnya putih dan sepertinya begitu halus (aku belum pernah bersentuhan dengannya). Kontras dengan itu, rambutnya yang dibiarkan panjang terlihat begitu hitam dan lebat. Melihat dirinya pertama kali, aku langsung kepincut. Dan butuh waktu nyaris dua tahun, ketika takdir akhirnya menempatkan aku dan dia di kelas yang sama, untuk sekadar berkenalan.
“Kamu jangan menggodaku lagi!”
“Aku tidak menggodamu....”
“Laki-laki mana yang bukan penggoda?”
“Aku hanya ingin berteman denganmu.”
“Teman?”
“Kau belum punya pacar?”
Alina terdiam. Diamnya itu mengingatkan aku pada dirinya setahun yang lalu ketika kulihat ia berbaju merah bersama keluarganya menyetop angkutan pedesaan warna hijau di depan simpang Talang Bulu itu. Seperti tahun sebelumnya juga, ia akan pergi ke pulau Kemaro, ke kelenteng-kelenteng, sembahyang, dan merayakan tahun baru di sana. Tidak pernah ada tahun baru Cina di desa kami. Tidak pernah ada izin bagi non-pribumi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan resmi. Aku tidak mengerti pasal apa yang bisa melarang-larang hak asasi untuk bahagia. Mungkin karena Keneng yang tidak pernah mau menyumbang tiap kali AMS meminta dana pengembangan olahraga. Mungkin karena Ahong tidak mau bertanggungjawab pada limbah kotoran ayam di kali. Mungkin karena hal-hal itulah, masyarakat dendam kepada orang Cina.
Mencintaimu juga berarti membakar diri sendiri....
Seorang pria Cina bernama Tan Bun Ann pernah menginginkan putri raja Sriwijaya dengan syarat sembilan guci emas. Sedang aku seorang putra Palembang menginginkan putri Cina harus mengorbankan segala ikatan keluarga.
“Kalau kau masih bilang mencintai Alina, kau bukan anakku lagi!” Bapak berkata demikian. Aku diam dalam keheningan.
Aku belum pernah melawan bapakku. Hubunganku dengan Alina yang tidak pernah diresmikan dengan agenda penembakan ala anak muda pada umumnya itu memang kusadari tidak jelas di mana ujungnya. Apalagi bapakku adalah seorang penceramah, seorang da’i. Hubungan berbeda agama, apalagi Cina, membuatnya naik darah.
“Cina itu komunis! Komunis pernah membantai orang-orang Islam. Membakar mesjid. Mengencingi Alquran. Kau masih ingin mencintai orang-orang macam itu?”
Aku tidak berani menjawab.
Ketika kutemui Alina yang memutuskan tidak melanjutkan sekolahnya ke bangku universitas, dan memilih membantu toko ayahnya, kulihat ia semakin cantik saja. Belakangan tokonya makin ramai karena para lelaki hidung belang berdatangan demi menggoda Alina dengan dalih ganti oli atau membenarkan busi.
“Sudah hampir satu tahun ya?” Dia memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Kita.”
“Sudah mau tahun baru, kau mau ke Kemaro lagi?”
“Kau keliru.”
“Keliru?”
“Ya, ada imlek ada Cap Go Meh.”
“Kenapa semuanya berwarna merah?”
“Kilin takut warna merah.”
“Kilin?”
“Aku mau mengajakmu ke Kemaro. Kalau kamu mau....”
Jelas aku mau. Tetapi, aku tidak tahu caranya.
“Dulu, Tan Bun Ann ingin melamar Siti Fatimah. Seandainya ia bisa sedikit lebih sabar dan tidak mementingkan harga diri, ia tidak akan menendang kesembilan guci emas itu. Ya, di guci kesembilanlah ia baru menyadari kebenaran. Dan karena rasa bersalahnya, ia memutuskan melompat ke dalam air.”
“Bagaimana dengan Siti Fatimah?”
“Ia pun melompat ke dalam air.”
“Hah? Bodoh sekali!”
“Tidak bodoh. Itulah cinta.”
Aku tertegun. “Haruskah cinta melenyapkan pelakunya, Lin?”
Giliran dia yang diam.
Aku memandangi rambut hitamnya yang sudah melebihi bahu. Matanya begitu jernih. Bibirnya begitu tipis. Dan kulitnya yang benar-benar putih itu.
“Apa mungkin kita bersatu, Lin?” Aku kembali bertanya. Dan matanya pun berkaca-kaca.
Aku mencintai hidup dan matimu....
Suatu hari yang tak lagi ada Alina, aku benar-benar mengunjungi Kemaro. Sejumlah orang memotong kambing hitam di gundukan tanah yang diyakini sebagai makam Siti Fatimah. Banyak orang keluar-masuk kelenteng. Aku hanya terpaku pada sebatang pohon yang dikerubuti banyak pasangan muda. Aku bertanya kepada seorang pengunjung, “Pohon apa itu?” Ia bilang itu adalah pohon cinta. Barang siapa menuliskan namanya di sana (bersama nama kekasihnya) maka hubungan keduanya tidak akan bisa dipisahkan.
Hari ke-15 adalah Cap Go Meh. Aku baru mengerti bedanya. Jika Tahun Baru Imlek sebagian besar merupakan pesta keluarga, yang upacaranya dilakukan di dalam masing-masing rumah, maka Capgomeh merupakan pesta masyarakat yang upacaranya dilakukan di luar bangunan gedung rumah dan di jalan-jalan, berpusat pada kelenteng (tempat ibadat agama, kepercayaan dan tradisi Tionghoa).
Malam nanti diprediksi cerah. Bulan akan purnama. Sudah tujuh tahun berlalu, aku masih merindukan Alina. Aku saksikan orang-orang berkulit serupa dengannya di sini. Sekarang, mereka telah terbebas dari stereotip non-pribumi. Aku termasuk yang bahagia. Tetapi, tetap saja ada yang mencibir dan melempar tafsir yang sama seperti dulu. Bapakku juga. “Lihat Keneng dan Ahong, apa mereka pernah kumpul dan berbaur dengan masyarakat?” begitu tanyanya. Dan memang tak bisa kutampik. Orang-orang Cina kaya di desa kami masih saja bersikap tertutup dan menunjukkan arogansinya.
Aku mendekati pohon cinta itu. Alina mungkin ingin mengajakku kemari. Tetapi, memang tak lama setelah ajakan itu, ia harus angkat kaki dan berangkat ke Taiwan. Aku tidak tahu kenapa. Kabarnya seorang pria kaya di sana telah melamar Alina lewat saudara jauhnya. Tetapi, aku yakin Alina tidak mau kalau tidak terpaksa. Keadaan yang telah memaksa. Huru-hara beberapa tahun lama memang telah mengusir banyak orang Cina di negeri ini. A Hen yang Cina, tetapi muslim, bahkan harus memasang sajadah di tiap jendela luar toko dan rumahnya untuk membuktikan ia adalah muslim. Aneh. Kenapa harus simbol-simbol Islam yang dijadikan tameng perlindungan? Apakah Islam sedemikian barbarnya untuk melakukan pengrusakan?
Aku pandangi pohon itu baik-baik. Seorang anak kecil menarik ujung kausku dan menawarkan kue keranjang kepadaku. Aku berjongkok dan tersenyum kepada anak kecil itu. Ibunya yang kemudian tergopoh menyusulnya juga ikut tersenyum kepadaku. Ia menyapa dan bertanya apa aku pertama kali datang kemari. Aku tidak menjawab. Karena saat aku berjongkok itulah kulihat sepasang nama di pohon cinta itu. Tulisan yang lugu dan malu-malu. Alina. Dan aku.
(Kepu Dalam, 2011)
Comments