Sajak-Sajak di Berita Pagi, 22 Agustus 2010
Telinga dalam Lemari
:indah
Telepon berdering, berkali-kali. Kamu bilang kamu rindu mengalahkan jam tiga pagi. Jam tiga pagi yang penuh dengan suara mengaji, bunyi kipas angin, dan cicak kawin sesekali. Saya berjanji pada alarm, akan membuka mata pada jam yang sama. Tetapi televisi belum menyala, laptop di meja masih tidur juga. Saya janji pada Al-Quran, menamatkan tiga puluh juz bulan ramadhan. Saya janji pada jam tiga pagi akan menyalakan lampu kamar yang redup ini. Tetapi, telepon berdering berkali-kali. Telinga saya masih di dalam lemari. Belum dilipat. Sama dengan baju-baju yang baru dicuci. Lemari terbuka sebenarnya, seperti hati. Tetapi mata tidak mau terbuka. Malam masih saja menutup rapat keduanya seperti jendela. Takut angin. Takut hujan rintik-rintik. Tetapi, suara di seberang sana mengatakan tak perlu takut angin tak perlu takut hujan rintik-rintik. Hanya saja, telinga masih dalam lemari, hati jauh dari telinga.
(2010)
Pohon Jambu Mete di Dadaku
di dadaku tumbuh pohon jambu mete
dua hari kubiarkan, sudah
satu meter tingginya, "ayah, kapan
pohon jambu mete ini berbuah?"
ayah pergi ke dapur, sebilah pisau keluar
dari lidahnya, "acungkan saja pada ibumu, nak."
(2010)
Sajak Cemburu
bagaimana bisa aku bilang cemburu;
di matamu ada enam tahun yang lalu
dan aku masih sebatas hitungan bulan
yang tak jelas
aku laki-laki, sebegitu ingin
memilikimu
menautkan mataku
di jemarimu
biarkan, biarkan ia berlepasan
dari genggaman tanganmu
yang ringkih
menahan berat udara, menyerang
tulang iga
aku laki-laki, sebegitu tabah
memastikan kelak
di jari manismu, dan hanya
di jari manismu
sebuah cincin terindah
dari bola mataku sendiri
Di Atas Eskalator
aku tahu, zasneda
ketika matamu minta cium
di atas eskalator
di blok m square itu
orang-orang habis belanja, membawa troli
sepasang muda-mudi yang lain menantang kita
genggaman tangan mana yang lebih utuh
dan cinta terlepas, begitu saja
seperti daun dari ranting
setelah bertahun tetap tabah
aku tahu, zasneda
udara sudah bikin kita semakin jauh
dadaku sesak
Sonet Kenangan
Tak ada yang pernah berubah di ruang tak terkunci ini:
tempat tidur, almari, dan meja rias masih menyisakan
bau ibu yang telah lama menemani kamboja di pemakaman.
Aku tertidur, lelap, dan memimpikan televisi menyala sendiri.
Seorang pria muda menaiki sepeda dan semua berlalu---melambat
seperti sebuah kedatangan kereta di stasiun itu. Seolah kematian
begitu rakus melebihi angin yang menggoda dedaunan yang lamat
runtuh, dikumpulkan tukang sapu dan tersesat di perapian.
Dan jarak begitu jauh untuk ditempuh. Dan kaki terlalu letih
terus berlari dari jarum jam dinding itu. Dan tempat tidur dan
almari dan meja rias dan segalanya diam-diam merintih
berharap jendela terbuka membiarkan kenangan berlenyapan.
Dan begitulah, tak ada yang pernah berubah di ruang tak terkunci ini.
Seperti arang yang tak kunjung menjadi api. Tak lagi menjadi kayu.
(2010)
Sajak-sajak tentang Dada dan Segala Isinya
i.
dadaku penuh bom molotov
ingatkah dirimu pada langkah-langkah catur
itu
ketika karpov bertekuk lutut pada
gary kasparov?
ii.
sejak dadaku dibilang bidang
aku takut pada lingkaran
iii.
di dadaku ada senyummu, ada kumismu, ada
kamu yang sedang mencari-cari keberadaanmu
sendiri (di dada ini)
iv.
dadaku tertinggal di dapur, sebentar
apa tadi aku lupa menggaraminya ya,
kubuka panci di atas tungku,
dadaku masih belum melepuh.
v.
aku dilahirkan tanpa dada. laki-laki tak perlu
dada, begitu ibu bercerita sambil menunjukkan
dadanya yang gosong.
Malam Minggu yang Kosong
:indah
Duduk di warung makan, aku membayangkan piring ini
tidak berdenting sendirian. Dua centong nasi yang kuambil, pun tempe oreg dan
telur mata sapi sejujurnya tidak mampu mengatasi kerinduanku kepadamu.
Di luar, suara motor terdengar bising. Berpasang kekasih sedang berboncengan
di bawah kabut malam pekat. Gemuruh pesawat sesekali terdengar lewat.
Tidak ada bulan. Tidak ada pemakaman
selain malam minggu yang kini terasa sangat kosong, tanpa engkau.
Aku menyaksikan televisi, dua orang penyanyi muda tengah berkompetisi. Seorang
pria sedang mencari jodoh di antara empat lampu yang menyala. Aku tak pernah paham
soal ini: jodoh adalah masalah keputusan. Dan sudah kuputuskan untuk bersamamu
sampai segala sesuatu tinggal wangi kamboja (atau lebih dari itu).
Nasi di piringku masih tersisa. Kubiarkan mereka menangis tetapi telingaku
terlalu tuli untuk mendengar kepedihan selain aku sendiri. Pun kepedihanmu
yang jauh di sana merindukanku lebih dari apa-apa yang aku tahu.
Malam minggu masih kosong, tetapi hatiku tak pernah kosong akan namamu.
:indah
Telepon berdering, berkali-kali. Kamu bilang kamu rindu mengalahkan jam tiga pagi. Jam tiga pagi yang penuh dengan suara mengaji, bunyi kipas angin, dan cicak kawin sesekali. Saya berjanji pada alarm, akan membuka mata pada jam yang sama. Tetapi televisi belum menyala, laptop di meja masih tidur juga. Saya janji pada Al-Quran, menamatkan tiga puluh juz bulan ramadhan. Saya janji pada jam tiga pagi akan menyalakan lampu kamar yang redup ini. Tetapi, telepon berdering berkali-kali. Telinga saya masih di dalam lemari. Belum dilipat. Sama dengan baju-baju yang baru dicuci. Lemari terbuka sebenarnya, seperti hati. Tetapi mata tidak mau terbuka. Malam masih saja menutup rapat keduanya seperti jendela. Takut angin. Takut hujan rintik-rintik. Tetapi, suara di seberang sana mengatakan tak perlu takut angin tak perlu takut hujan rintik-rintik. Hanya saja, telinga masih dalam lemari, hati jauh dari telinga.
(2010)
Pohon Jambu Mete di Dadaku
di dadaku tumbuh pohon jambu mete
dua hari kubiarkan, sudah
satu meter tingginya, "ayah, kapan
pohon jambu mete ini berbuah?"
ayah pergi ke dapur, sebilah pisau keluar
dari lidahnya, "acungkan saja pada ibumu, nak."
(2010)
Sajak Cemburu
bagaimana bisa aku bilang cemburu;
di matamu ada enam tahun yang lalu
dan aku masih sebatas hitungan bulan
yang tak jelas
aku laki-laki, sebegitu ingin
memilikimu
menautkan mataku
di jemarimu
biarkan, biarkan ia berlepasan
dari genggaman tanganmu
yang ringkih
menahan berat udara, menyerang
tulang iga
aku laki-laki, sebegitu tabah
memastikan kelak
di jari manismu, dan hanya
di jari manismu
sebuah cincin terindah
dari bola mataku sendiri
Di Atas Eskalator
aku tahu, zasneda
ketika matamu minta cium
di atas eskalator
di blok m square itu
orang-orang habis belanja, membawa troli
sepasang muda-mudi yang lain menantang kita
genggaman tangan mana yang lebih utuh
dan cinta terlepas, begitu saja
seperti daun dari ranting
setelah bertahun tetap tabah
aku tahu, zasneda
udara sudah bikin kita semakin jauh
dadaku sesak
Sonet Kenangan
Tak ada yang pernah berubah di ruang tak terkunci ini:
tempat tidur, almari, dan meja rias masih menyisakan
bau ibu yang telah lama menemani kamboja di pemakaman.
Aku tertidur, lelap, dan memimpikan televisi menyala sendiri.
Seorang pria muda menaiki sepeda dan semua berlalu---melambat
seperti sebuah kedatangan kereta di stasiun itu. Seolah kematian
begitu rakus melebihi angin yang menggoda dedaunan yang lamat
runtuh, dikumpulkan tukang sapu dan tersesat di perapian.
Dan jarak begitu jauh untuk ditempuh. Dan kaki terlalu letih
terus berlari dari jarum jam dinding itu. Dan tempat tidur dan
almari dan meja rias dan segalanya diam-diam merintih
berharap jendela terbuka membiarkan kenangan berlenyapan.
Dan begitulah, tak ada yang pernah berubah di ruang tak terkunci ini.
Seperti arang yang tak kunjung menjadi api. Tak lagi menjadi kayu.
(2010)
Sajak-sajak tentang Dada dan Segala Isinya
i.
dadaku penuh bom molotov
ingatkah dirimu pada langkah-langkah catur
itu
ketika karpov bertekuk lutut pada
gary kasparov?
ii.
sejak dadaku dibilang bidang
aku takut pada lingkaran
iii.
di dadaku ada senyummu, ada kumismu, ada
kamu yang sedang mencari-cari keberadaanmu
sendiri (di dada ini)
iv.
dadaku tertinggal di dapur, sebentar
apa tadi aku lupa menggaraminya ya,
kubuka panci di atas tungku,
dadaku masih belum melepuh.
v.
aku dilahirkan tanpa dada. laki-laki tak perlu
dada, begitu ibu bercerita sambil menunjukkan
dadanya yang gosong.
Malam Minggu yang Kosong
:indah
Duduk di warung makan, aku membayangkan piring ini
tidak berdenting sendirian. Dua centong nasi yang kuambil, pun tempe oreg dan
telur mata sapi sejujurnya tidak mampu mengatasi kerinduanku kepadamu.
Di luar, suara motor terdengar bising. Berpasang kekasih sedang berboncengan
di bawah kabut malam pekat. Gemuruh pesawat sesekali terdengar lewat.
Tidak ada bulan. Tidak ada pemakaman
selain malam minggu yang kini terasa sangat kosong, tanpa engkau.
Aku menyaksikan televisi, dua orang penyanyi muda tengah berkompetisi. Seorang
pria sedang mencari jodoh di antara empat lampu yang menyala. Aku tak pernah paham
soal ini: jodoh adalah masalah keputusan. Dan sudah kuputuskan untuk bersamamu
sampai segala sesuatu tinggal wangi kamboja (atau lebih dari itu).
Nasi di piringku masih tersisa. Kubiarkan mereka menangis tetapi telingaku
terlalu tuli untuk mendengar kepedihan selain aku sendiri. Pun kepedihanmu
yang jauh di sana merindukanku lebih dari apa-apa yang aku tahu.
Malam minggu masih kosong, tetapi hatiku tak pernah kosong akan namamu.
Comments