Vaginalia

Saya sudah sering dihina dan terhina. Jadi sudah biasa kalau kamu mengernyitkan dahi, mempertanyakan, (atau malah) menertawakan nama saya. Sebab nama saya Vaginalia. Asli dari akta lahir, murni pemberian kedua orang tua saya. Silahkan kalau kamu mau tertawa. Toh sudah biasa.
Kamu mengenalkan namamu sebagai Muhammad. Nama yang bagus, dan agung. Sebab namamu itu juga nama nabi yang paling diagungkan. Yang dijuluki Al-Amin, artinya dapat dipercaya. Diteladani banyak manusia, termasuk saya. Sebab katanya akan mendapat pahala jika saya memuji namanya, mendapat sesuatu yang bernama ‘Syafa’at’ di kehidupan akhirat.

Nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Sebab itulah saya percaya sama kamu.



Saya masih perawan, belum kawin. Orang-orang seringkali merendahkan harga diri saya. Sebab nama saya Vaginalia. Mendekati saya dengan alasan nafsu saja. Saya benci. Saya jijik. Sebab saya juga perempuan baik-baik. Mendambakan laki-laki yang baik-baik. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang menilai saya dengan harga. Pernah saya ditawar dua juta untuk sebuah malam bersama dengannya. Saya tidak mau. Meski saya miskin, saya punya harga diri. Saya benar-benar tersinggung. Saya tampar dia, dan dia memaki saya. Mengatakan saya hanya jual mahal. Padahal saya benar-benar tak mau dibeli, dengan harga berapapun yang kamu beri.

Nama kamu Muhammad. Saya suka perilakumu terhadap saya. Kamu menemani saya duduk di sebuah kantin. Memesan dua mangkok bakso: satu buat kamu, satu buat saya. “Saya yang traktir,” katamu sambil tersenyum merekah. Saya bahagia, kamu mau duduk di samping saya. Mau berbicara dengan saya meski tatapan curiga mengarah ke arah kita berdua. Sebab nama saya Vaginalia. Vagina, nama organnya wanita. Barang yang sudah banyak diobral murah. Itu untuk kelas biasa, limapuluh ribu semalam. Bisa juga sampai ratusan juta. Tergantung jaminan kepuasan yang diberikan. Tapi sekali lagi, saya tidak seperti itu. Saya wanita baik-baik, mendambakan laki-laki baik-baik.

Nama kamu Muhammad. Dan kamu memanggil saya “Va”. Saya tidak menolak. Saya justru senang. Sebab kamu teman pertama saya. Kamu selalu sabar menemani saya meski mereka masih menatap curiga.

Nama kamu Muhammad. Dan segalanya telah berubah menjadi kamu. Saya jatuh cinta sama kamu. Tapi apa saya pantas untuk mencintai dan dicintai? Saya tidak berharap lebih. Saya sudah cukup senang dengan keberadaan kamu sebagai teman saya. Sampai bulan kedua, kamu mendadak muncul di depan pintu kostan saya. Padahal hujan sedang deras. Kamu basah kuyup. Belum sempat saya ambilkan handuk, kamu sudah memegang tangan saya. Dan kamu ungkapkan cinta. Kamu tahu, itu pertama kalinya tangan saya digenggam laki-laki. Tapi saya bahagia. Karena itu kamu. Terlebih kamu mengatakan cinta. Mimpi yang menjadi nyata. Sejak itu kita pacaran.

Satu bulan.

Dua bulan.

Kita masih hanya berpegangan tangan. Sebab saya tak mau macam-macam. Belum waktunya. Sebab saya tahu bahwa Zinah adalah dosa besar. Sama saja dengan menyekutukan Tuhan. Toh saya cukup bahagia dengan berpegangan tangan.



Saya cantik, katamu.

Malam itu saya membiarkan kamu mencium bibir saya. Saya hanya mampu memejamkan mata. Sementara bibirmu terus melumat bibir saya. Saya
takut. Benar-benar takut. Sebab saya tahu ini dosa. Tapi kamu terlalu mempesona, membuat saya tidak berdaya. Sebab sebelumnya kamu memasangkan cincin di jari saya, kembali mengatakan cinta, dan berjanji akan menikahi saya.

Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika tanganmu mulai menelusup di balik kemeja saya. Mengelus tubuh saya. Saya ingin katakan jangan, tapi bibir saya kamu bungkam begitu nakalnya. Saya mulai menangis, tapi kamu dengan hebatnya kembali mengatakan cinta, menenangkan hati saya.

Tiba-tiba hari telah pagi. Menyaksikan kamu tanpa busana, begitu pula saya. Ada bercak darah di sana. Saya menangis. Sebab saya tahu, saya tidak lagi perawan. Tapi lagi-lagi kamu memeluk saya, mengecup kening saya, berjanji menikahi saya. Saya percaya. Sebab nama kamu Muhammad.



Berkali-kali setelah itu kamu melakukan hal yang sama. Saya ingin menolak. Benar-benar ingin menolak. Tapi kamu begitu pintar untuk memancing hasrat saya keluar, tanpa malu, tanpa bisa lagi memikirkan bahwa kita adalah pendosa yang tidak akan diterima ibadahnya. Dan neraka balasannya. Sebab namu kamu Muhammad, saya percaya kamu akan menikahi saya.



Bulan keenam kamu mengatakan perpisahan. Tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kamu benar-benar pergi meninggalkan saya, seperti angin. Tak tertinggal suatu apapun kecuali membawa debu melekat pada tubuh saya. Padahal kita sudah pernah bercinta dengan dosa, berkali-kali. Tapi kamu tetap tak menggubris itu semua. Akhirnya kamu mengatakan bosan kepada saya. Dan saya hanya bisa tertawa. Tertawa akan kebodohan saya mempercayai kamu selama ini.

Padahal nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Tapi mungkin setan-setan yang kegirangan memujimu. Sedangkan saya lebih memilih menghujatmu, melaknatmu. Tapi saya akhirnya sadar, sia-sia saya melakukan itu.



(Kamu tahu dimana saya berada saat ini?
Penjara! Saya membunuhi Muhammad, satu per satu,
Di jalan, di keramaian, atau di tempat remang-remang yang menjajakan kebahagiaan… saya mencari Muhammad. Muhammad mana saja yang matanya belingsatan melihat kecantikan saya.
Dan lagi-lagi saya menyebut Muhammad, merindukan Muhammad yang pernah saya puji. Sebab ia orang yang terpuji. Yang pernah begitu saya teladani… Tidakkah kamu mengerti?)

Comments

aku suka bagian terakhirnya di. selainnya, humm.. masih kurang.
Hijau said…
This comment has been removed by the author.
Enno said…
wow! cerpennya keren! bagus kok... mengalir sampai ke ending...


salam kenal ya...


mampirlah ke blog saya :)