Amplop Merah Jambu
Bab
I
Kepada
Kamu.
Aku
tahu napasmu masih terengah-engah bakda meloloskan diri dari satpam penjaga
pintu gerbang. Dan sebentar lagi, kamu akan merasa panik, sebab buku PR
Matematika yang telah kamu kerjakan semalaman ketinggalan di rumah. Tenang
saja, hari ini Pak Oman tidak mengajar. Sebagai gantinya, ia hanya akan meminta
murid-murid mengerjakan latihan soal-soal dan tidak dikumpulkan.
Bagaimana
aku tahu semua hal itu?
Hai,
Randi. Aku adalah kamu—kamu sepuluh tahun yang
akan datang.
~
Tepat setelah
kulangkahkan kaki kiriku turun dari bis, kulihat satpam penjaga sekolah sudah
memegang pintu gerbang dan mulai mendorongnya. Begitu kakiku menjejak tanah,
aku langsung berlari secepat mungkin sambil kukutuk sopir bis yang berhenti
tidak di depan gerbang sekolah. Ia berhenti di bawah jembatan penyeberangan,
pas di tanda dilarang berhenti pula.
Aku mengerti ia malas
menurunkan penumpang dua kali. Sengaja ia lewati Methodist, meski para
penumpang yang ingin berhenti di sana banyak juga. Seratus meter dari Methodist
ada sekolahku, SMAN 3 Palembang. Bis berhenti di tengah-tengah kedua sekolah
ini.
Untunglah, dalam jarak
pendek, aku adalah pelari yang baik. Dengan gesit, aku bisa menyusupkan diri
dalam celah gerbang yang belum tertutup.
Selamat!
Sungguh, kecelakaan
besar bila sampai terlambat. Mula-mula para siswa yang terlambat akan
dibariskan di lapangan. Setelah itu, Kepala Sekolah akan datang. Ia begitu
bengis. Bukan hanya dibentak-bentaki, adegan demi adegan penyiksaan akan kami
lakoni. Push up, sit up, squat jump
hingga merayap bak tentara di medan perang akan menjadi pemandangan menarik
selama satu jam pelajaran.
Aku pernah terlambat
satu kali dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.
Aku menyesal bangun
lebih lambat hari ini. Aku keasikan membaca novel Area X karya Eliza Vitri Handayani hingga tengah malam. Setelah
itu, aku baru tertidur. Pukul enam pagi aku terbangun dan buru-buru menyiapkan
diri berangkat ke sekolah. Tak sempat kusentuh nasi goreng yang sudah disiapkan
Mama. Hanya segelas teh manis yang kuseruput sekadarnya.
Aku tinggal di
pinggiran Palembang. Sekolahku berada tepat di jantung kota. Dari rumah ke
sekolah, aku harus naik dua kendaraan umum. Angkutan Pedesaan yang berwarna
hijau muda, lalu disambung dengan bis. Jika jalanan lancar tanpa kemacetan,
lima belas kilometer jarak dari rumah ke sekolah akan dapat ditempuh kurang
dari setengah jam. Aku merasa beruntung tidak terlambat hari ini meski sudah
bangun kesiangan. Sedianya aku harus bangun sebelum pukul lima pagi lalu mandi
dan salat. Tuhan, maafkan aku yang meninggalkan salat pagi
ini.
~
Bel sudah berbunyi.
Tanda kelas sudah harus dimulai.
Napasku masih
terengah-engah karena lari tadi. Kulihat di luar ruang kelasku sudah sepi.
Biasanya teman-temanku masih mengobrol di luar sampai guru datang. Artinya,
guru sudah datang atau bisa jadi mereka sedang sibuk mengerjakan PR Matematika.
Memang, tak ada waktu yang lebih asik untuk mengerjakan PR selain di sekolah,
sebelum jam pelajaran dimulai. Apalagi kalau tinggal menyalin hasil pekerjaan
teman. Aku juga pernah begitu. Namun, sekarang tidak lagi. Aku sudah menjadi
murid yang baik.
Kelasku punya julukan
yang unik. Anak gudang. Sebabnya sederhana, kelas kami memang bekas gudang.
Aku tidak tahu kenapa
kami mendapat bekas gudang. Kuduga hal ini terjadi karena kesalahan sekolah
dalam merencakan penerimaan siswa baru. Di angkatanku ada 12 kelas. Angkatan
baru di bawahku juga ada 12 kelas. Ruangan yang tersedia terbatas.
Hari pertama masuk
sekolah setelah libur kenaikan kelas bukannya berebut tempat duduk di ruang
kelas baru. Setelah melihat daftar pembagian kelas, bertemu dan berkenalan
dengan teman-teman baru maupun yang sudah kukenal, aku tidak dapat menemukan
kelas. Papan nama kelas terhenti sampai 2.10. Tidak ada 2.11 apalagi 2.11.
Aku bersama beberapa
teman pun beranjak ke sekretariat. Kami rapikan baju serapi-rapinya dan yang
rambutnya sedikit gondrong, mohon maaf, tak dapat kami ajak ketimbang tiba-tiba
bertemu Kepala Sekolah yang super galak. Kalau ketahuan tidak rapi, bisa-bisa
kami dihukum lari keliling lapangan. Mengerikan.
Benar saja, baru kami
menjejakkan kaki, Kepala Sekolah itu keluar dari ruangannya dan menatap kami.
Dia menenteng tangannya di pinggang dan membentak kami, “Kalian ngapain di
sini?!”
Nama beliau Lukman.
Tapi, jangan bayangkan sifat Lukman yang ada dalam surat di Alquran. Lukman
yang ini adalah seorang pelatih Taekwondo yang tersasar jadi kepala sekolah.
Sabuk hitam. Tidak satu pun siswa sekarang ini yang berani melawannya. Kalau
pun nakal, nakalnya kudu diam-diam. Dulu, ketika Lukman baru menjadi Kepala
Sekolah, pernah ada beberapa siswa nakal yang menantangnya. Bukan satu,
melainkan tiga orang. Ketiga siswa itu diundang masuk ke ruangan Kepala
Sekolah. Dan mereka berkelahi di sana. Hasilnya... ketiga siswa itu keluar
dengan muka babak belur. Rambut mereka
pun ditokak.
Ada lagi cerita, suatu
hari beliau sendiri yang merazia seisi sekolah. Beliau berhasil menangkap
sejumlah anak yang merokok di belakang WC. Hukumannya? Mereka dibariskan secara
khusus di lapangan upacara. Kemudian, mereka ditempelengi satu per satu. Plak... Plak... Plak. Setelah itu,
mereka pun dihukum membersihkan WC yang baunya naudzubillah.
Dan kini, Lukman yang
lebih menakutkan dari Dementor itu ada di depan kami.
Aku hanya bisa diam
dilontari pertanyaan itu. Chandra yang maju. Baru saja aku berkenal dengannya.
Yang kutahu dia anak PKS, Patroli Keamanan Sekolah. Tinggalnya di Kertapati—daerah
yang terkenal bagaikan Texas karena
tingkat kriminalitasnya yang tinggi.
“Permisi, Pak. Maaf,
kami ingin ke sekretariat,” kata Chandra dengan sopan. Tak lupa ia pasang
senyum iklan pasta gigi dengan sempurna.
“Oh, kamu...” Lukman
tampak mengenal Chandra. “Ada apa?”
“Kami baru lihat
pengumuman pembagian kelas. Kami ditempatkan di 2.11. Tapi, Pak, kami cari-cari
tidak ada kelas 2.11. Kami ingin bertanya, ruang kelas kami di mana, Pak?”
“Oh, 2.11 ya... coba
tanya Pak Oman...”
Percakapan itu berakhir
begitu saja setelah dia mengalihkan tatapannya dari kami.
Kemudian kami mencari
yang namanya Pak Oman. Ternyata dia seorang guru. Kami sama sekali belum
mengenalnya karena dia tak pernah mengajar anak kelas 1. Dia hanya mengajar
Matematika untuk anak kelas 2. Dan ternyata dialah wali kelas kami.
Sebenarnya, aku selalu
diam karena aku tak memiliki kepercayaan diri untuk bicara. Di depanku, Pak
Oman. Melihatnya aku ingin tertawa. Tapi kutahan. Rambutnya dipotong persis
Zinadine Zidane. Botak di tengah. Aku jadi berpikir jangan-jangan Lukman yang menokaki
Pak Oman sehingga tampil demikian. Aku tak tega memiliki pikiran lucu seperti
ini mengingat dia tampak ramah karena selalu tersenyum.
“Kelas kalian ada di
setelah 2.10.”
“Di sebelah 2.10 kan cuma
ada gudang?” ujar Chandra.
“Di mana teman-teman
kalian yang lain? Maksud saya, anak-anak 2.11 yang lain.”
“Sebagian sih masih di depan papan pengumuman, ada
juga yang sudah di kantin, Pak.”
“Kamu, Chan... jadi
ketua kelas, ya? Tugas pertamamu, kumpulkan anak-anak di sebelah 2.10 sekarang.”
Aku tidak tahu apakah
ditunjuk langsung menjadi ketua kelas adalah keberuntungan atau malah kesialan.
Chandra yang kurus dan tak lebih tinggi dariku itu masih tersenyum dan
menganggukkan kepala. “Baik, Pak,” katanya. Hari itu kusadari satu hal yang
membedakan kami berdua, yakni mental.
Bersama kami, Pak Oman
menuju ke 2.10. Anak-anak 2.10 sudah duduk di bangkunya masing-masing seperti
ada lem yang lengket di sana. Aku paham, mereka tak mau bangku yang sudah
ditandai susah payah diserobot orang lain.
Chandra datang bersama
gerombolan siswa. Mereka pasti calon teman sekelasku. Sebagian besar tak
kukenali, sebagian kecil aku hanya tahu nama dan sebagian kecil sekali yang
pernah berbincang denganku. Satu tahun di SMA tak membuatku memiliki banyak
teman.
“Oke, sudah semua ini?”
tanya Pak Oman.
“Segini yang ada, Pak.”
“Baiklah. Kelas kita di
sini.”
“Di sini?”
“Iya. Di sini. Di
gudang.”
“Hah? Di gudang?”
“Kelas adalah keluarga.
Dalam keluarga ada gotong royong, ada pembagian tugas. Tadi saya sudah menunjuk
Chandra jadi ketua kelas. Kalau ada yang tidak setuju, bilang ke saya, nanti
kita adakan pemilihan. Chandra nanti menunjuk wakil, sekretari dan bendahara,
ya? Tapi sebelum itu... sebentar...” Pak Oman mengeluarkan serangkaian kunci.
Dia memilih-milih kunci. “Nah ini dia...” Dia buka pintu gudang itu dan
pemandangan ruangan penuh debu dengan meja, kursi bertumpuk, bersarang
laba-laba ada di depan kami. “Berita baiknya hari ini tidak ada kelas. Namun
tetap ada pelajaran. Pelajaran pertama adalah merapikan kelas. Silakan kalian
bersihkan ruangan ini senyaman-nyamannya... karena satu tahun ke depan, ruangan
inilah yang akan menjadi ruang kelas
kalian.”
~
“Ran, kau sudah kerjakan itu... PR Matematika?” tanya
Anton, teman yang duduk di sebelahku. “Semalam mati lampu, aku tak sempat
mengerjakan.”
Belum juga aku meletakkan tas, Anton sudah mencoba
memintaku menyerahkan PR. Aku benci sekali menyontek. Aku juga benci diconteki.
Tak apa-apa aku mendapat peringkat rendah di kelas, perkara kejujuran dalam
mengerjakan ujian itu prinsip.
Sebelum memasukkan tas ke dalam laci, biasa kuperiksa
dulu isi laciku. Biasanya ada sampah. Teman-teman yang iseng sering memasukkan
sampah ke dalam kelas. Motifnya, tak lain tak bukan, pemilihan kelas terbersih
setiap minggunya. Untuk mendapatkan penghargaan itu, banyak yang bermain curang
dengan sengaja mengotori lawan. Kelas kami pernah menang setelah para pengawas
melihat kerja kami yang mengagumkan dalam mengubah gudang menjadi ruang kelas
yang sedikit layak ditempati.
Aku melongok ke dalam laci, tidak ada sampah. Ada satu
benda lain. Kupikir itu sebuah amplop. Merah jambu warnanya.
Apakah ini surat cinta?
Kusembunyikan surat itu cepat-cepat ke dalam laci, tapi
masih dalam genggaman tanganku. Kuperhatikan sekelilingku. Anton masih duduk di
sampingku. Dia menunggu PR-ku. Sampai, syukurlah, Yogi berteriak di depan
setelah berhasil menangkap basah Bara yang ternyata sudah selesai mengerjakan PR.
Anton segera menghambur ke Yogi, dan mengambil posisi tepat untuk menyalin pekerjaan
Bara. Di antara kami, Bara memiliki tulisan yang paling rapi. Pasti, Anton akan
memilih menyontek Bara ketimbang aku.
Kukeluarkan amplop merah jambu itu dengan hati-hati. Kuletakkan
di samping tas di atas meja. Aku buka pelan-pelan. Dan benar surat isinya.
Tuhan, masa mudaku
datang! Akhirnya aku mendapatkan surat cinta dari seorang gadis.
Kucek amplop itu. Tak ada nama pengirim. Hatiku makin berbunga-bunga
karena ternyata amplop itu memiliki aroma yang lembut.
Kubuka dengan hati bergemuruh suratnya.
Kepada Kamu.
Kubaca paragraf pertama dan dahiku berkernyit luar biasa.
Lahir lipatan-lipatan lebih banyak dari sebelumnya karena isi surat itu yang
tak masuk akal. Siapa yang jahil begini kepadaku? Atau siapa yang berani
menguntitku sepagian ini sehingga segala yang dituliskannya benar?
Tunggu, dia bilang... aku tak membawa buku PR, dan Pak
Oman tak datang hari ini.
Segera kubuka tas dan kuperiksa isinya. Astaga, aku
benar-benar tak membawa buku PR!
Kemudian pintu diketuk. Aku kaget. Chandra ternyata.
Dia senyum-senyum sendiri di pintu sebelum berkata, “Teman-teman,
ada pesan dari Pak Oman. Pak Oman tidak bisa datang hari ini.” Sontak saja
teman-temanku bersorak. “Eitss... ada lagi, Pak Oman nyuruh kita mengerjakan
latihan soal di bab II ya...”
Tapi ini bukan kali pertama Pak Oman tidak masuk kelas.
Meski baru dua minggu pengajaran berjalan, Pak Oman sudah tak masuk dua kali.
Dan dia selalu meninggalkan tugas yang tak pernah dikumpulkan. “Nanti
dikumpulkannya menjelang ujian saja. Saya ingin menguji kedisiplinan kalian.”
Disiplin dari Hongkong! Paling-paling tak ada yang mau
mengerjakan tugas itu, dan sebagian kecil yang rajin akan menjadi bahan
contekan sempurna menjelang ujian nanti. Percayalah!
Aku kembali ke
surat dan mendadak bulu kudukku berdiri. Hal yang ditulisnya benar-benar
terjadi. Kubaca kalimat selanjutnya dan itu menjadi kalimat paling tidak masuk
akal yang pernah kubaca dalam hidupku.
Hai Randi. Aku
adalah kamu—kamu sepuluh tahun yang akan datang!
Omong kosong.
Comments