KATAK BUNUH DIRI
“Katak-katak ini
tidak perlu bunuh diri,” ujarku pada Randal Patisamba yang tengah memegang dua
mayat katak. Aku tidak berani memegang satu pun dari mereka, apalagi dengan
badan sudah acak-acakan begitu. Aku jadi membayangkan jika tubuhku yang
terlindas kendaraan yang besarnya jutaan kali lipat, ya, katak-katak itu
terlindas kendaraan yang melintas dari dan ke Labangka.
“Kau yakin kalau
katak-katak ini bunuh diri?” Randal Patisamba meragukan ucapanku. Dahinya
berkerut. Dia sudah seperti petugas otopsi yang menduga bahwa setiap mayat
dengan luka memar, usus terburai, adalah buah kejahatan. “Empat ratus mayat katak
dalam jarak lima kilometer itu tidak masuk akal. Artinya, setiap dua belas koma
lima meter, ada satu mayat katak yang kita temukan,” tambah Randal sambil
bersungut-sungut.
“Jadi, apa kamu
ingin bilang kalau ada orang, psikopat yang tidak puas pada satu sesi
pembedahan katak di pelajaran Biologi yang melakukan ini semua?” Dengan enggan
kuingat sesi paling menjijikkan dalam sejarah umat katak itu. Katak-katak
dikorbankan, dibelah perutnya, dikeluarkan isinya demi alasan pengetahuan.
“Mungkin.”
Jawaban Randal Patisamba menggantung. Mukanya seperti memikirkan sesuatu,
seperti ada yang diketahuinya, tapi tak mau dikatakannya.
Aku tak habis
pikir pada rombongan yang sudah berjalan lebih dulu di depan. Mereka sama
sekali mengabaikan katak-katak ini. Pantai Leppu di Labangka Tiga menjadi
tujuan kami. Bersama-sama kami berangkat dari Sumbawa pukul delapan pagi tadi
dan di jalan, motor yang kunaiki bersama Randal mengalami pecah ban. Kami
tertinggal di belakang. Untungnya Randal bilang dia tahu jalan.
Mulanya aku tak
hendak ikut ke Leppu. Aku masih kecewa dengan Nacinta setelah dikatakannya aku
terlalu tua untuk jatuh cinta. Daging kambing yang berusia lebih dari tiga
bulan itu alot dan berkolesterol, tidak enak dimakan. Aku disamakannya dengan
kambing.
Tapi memang
perempuan tidak bisa ditebak, pagi-pagi bakda subuh dia mengirimkan pesan
singkat, pesan mesra yang tidak bisa ditolak siapa pun, “Mas, ikut ya ke Leppu,
Nacinta sedih kalau Mas nggak ada.” Aku
lebih memilih ikut Lucky Prize di
Line itu deh ketimbang harus menebak
apa maunya perempuan.
Satu motor
kosong yang tersisa milik Randal Patisamba. Dua orang dengan berat badan lebih
dari 70 kilogram akan menaiki motor matic
kecil yang seharusnya dinaiki perempuan dengan perut rata dan pinggul seperti
angsa. Pecah ban sudah sunatullah. Tidak
ada pembenaran untuk menggerutu.
Sebelum berbelok
ke Labangka, sebelum Plampang, aku tidak tahu kenapa pandanganku tertuju pada
satu titik. Sebuah bukit besar menarik perhatian. Awan-awan bergumul di
atasnya. “Apa itu?” Reflek aku bertanya pada Randal. Mataku belum beralih ke
mana pun.
“Jaran susang.”
“Jaran susang?”
“Itu tempat
tertinggi nomor dua di Sumbawa.”
“Setelah
Tambora?”
“Tambora tidak
dihitung. Tambora di Dompu.”
“Lalu?”
“Puncak
Ngengas.”
“Apalagi itu?”
“Sebaiknya jangan
lama-lama kau pandangi dia… tak baik.”
“Kenapa?” Aku
makin penasaran dengan jawaban Randal. Tapi sahabatku sejak aku di Sumbawa itu sama sekali tak memberiku
jawaban. Motor melaju seadanya. Sesekali ia dapat menyalip mobil-mobil
bermuatan besar yang menuju ke Bima. Mobil-mobil dengan kapasitas beban seperti
inilah yang menyebabkan jalan dari Poto Tano ke Bima sering rusak setiap
tahunnya. Dengan struktur tanah yang tak stabil, anggaran yang terbatas untuk
membuat lapisan yang tebal, jalan-jalan di Alas, Utan setiap tahun diperbaiki, dan
setiap tahun juga rusak kembali. Terlepas dari itu, barangkali jalan-jalan
adalah proyek abadi Kementerian Pekerjaan Umum. Atas nama penyerapan anggaran,
terkutuklah mereka yang memakan anggaran demi perutnya sendiri.
Aku memikirkan Jaran
Susang kembali ketika Randal dengan tergesa berkata, “Kita harus cepat pergi
dari sini, Pring.” Begitu aku sudah bersedia di boncengan, ia melajukan
motornya dengan kecepatan tertinggi yang bisa dicapai. Mayat-mayat katak itu
ditinggalkan begitu saja tanpa satu pun yang sempat kami kuburkan. Aku merasa
berdosa melihat mayat-mayat itu terlantar dan membayangkan bila saja ada
ratusan mayat manusia yang terlantar, tak dipedulikan, tak dicatat sejarah
seperti itu. Serta merta aku bergidik sebelum kudengar Randal mengatakan sesuatu.
Perkataan itu yang membuat bulu romaku tegak seperti kemaluan. “Aku yakin
sekali katak-katak itu dibunuh, bukan bunuh diri. Pernah ada cerita di sekitar
Labangka…”
Ya, pernah ada
cerita di sekitar Labangka. Puluhan ribu hektar ladang jagung yang terbentang
di Labangka adalah komoditas utama pertanian di wilayah Sumbawa. “Batang-batang
jagung itu tertekuk, Pring… bukan satu, tapi ribuan batang jagung.” Randal diam
sejenak sebelum melanjutkan, “Malam sebelum itu terjadi, ada badai hebat.
Banyak yang mengira, batang jagung itu tertekuk karena badai, tapi badai tidak
mungkin membuat tekukan yang begitu rapi, sama di semua batang. Itu perbuatan
seseorang, atau sesuatu….”
“Sesuatu?”
“Tadi aku
melarangmu melihat Jaran Susang bukan tanpa alasan. Penduduk setempat meyakini
di sana adalah kerajaan ghaib di seluruh tanah Samawa ini, Pring. Kalau sore,
perhatikanlah nanti setelah kita pulang, awan-awan yang bergumul itu akan
tampak seperti air terjun, awan yang ditumpahkan begitu saja dari ketinggian.
Dan kalau ke atas sana, kita lemparkan batu ke sisi satunya, batu itu tidak
akan terlempar. Ah, maksudku, batu itu akan seperti terhadang sesuatu. Kau
pasti pahamlah maksudku. Mistis, Pring.”
Aku menyimak
setiap kata Randal. Jalan aspal telah berakhir. Jalan tanah berbatu
menggantikannya. Di sisi kiri dan kanan, di sejauh mata memandang, ladang
jagung terbentang. Bongkol-bongkol jagung yang lebih besar dari kemaluan lelaki
ada di pinggir-pinggir jalan. Penduduk Labangka baru panen jagung.
Jagung-jagung itu akan dikirim ke Mataram, ke Bali, ke Surabaya. Dan lagi-lagi
lewat darat. Mau dikata apa, transportasi darat masih lebih murah.
Andai saja orang
Sumbawa ini membangun industri hulu. Jagung-jagung itu tidak akan cuma jadi
jagung-jagung. Sama halnya juga sapi. Sapi melimpah di Sumbawa. Tapi untuk
membawa sapi-sapi itu keluar Sumbawa butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Coba kalau ada industri pengolahan daging sapi, yang dikirim bukan sapi saja,
bukan daging potong saja, tapi bisa kornet juga, bisa abon juga.
“Dulu di
Labangka pernah dicoba peternakan sapi, Pring…” Randal membuyarkan pikiranku.
“Tapi gagal,” lanjutnya. “Sapi-sapi itu, ah, mengerikan…” tambah Randal.
“Mengerikan?”
“Mereka mati.
Massal. Seperti katak-katak tadi.”
“Sapi-sapi itu
terlindas kendaraan?”
“Tidak,
kendaraan apa yang bisa melindas sapi?”
“Lalu?”
“Tapi perut
mereka berlubang. Lubang yang sama persis setiap sapinya. Empat belas centi
jari-jarinya. Semua isi perutnya kosong dan tidak ada jejak darah sedikit pun.”
“Astaga! Semua
sapi mati begitu?”
“Tidak semua
sapi, tapi banyak sapi. Para peternak ketakutan membayangkan seseorang atau
sesuatu berkeliaran melakukan itu. Mereka berhenti beternak sapi di sini dan
pindah ke Utan.”
“Di Utan aman?”
“Ya, kau lihat
kan sapi-sapi berkeliaran di sepanjang jalan, bahkan pada malam hari, tidak ada
yang mencuri. Soalnya Fahri Hamzah sudah tidak di Utan. Haha…”
“Kamu masih bisa
bercanda dalam topik begini? Huh!”
Randal Patisamba
tertawa terpingkal-pingkal. Tawanya baru terhenti ketika kami temui tanjakan
yang cukup terjal. “Maju, Pring, rapatkan tubuhmu. Lebih rapat lagi!” pinta
Randal dengan serius. Begitu triknya naik motor berdua bila harus melewati
tanjakan, rapatkan tubuhmu serapat-rapatnya dengan yang di depan. Bila jalan
menurun, kebalikannya, taruh pantatmu di ujung motor agar laju motor tidak
bertambah. Soalnya ini matic, tidak
ada rem gigi yang biasa otomatis menahan kecepatan maksimal sesuai giginya.
Aku penasaran
dengan sapi-sapi yang diceritakan Randal. Mutilasi seperti itu tidak masuk
akal. Kenapa harus sapi, kenapa sekarang katak, kenapa bukan kambing. Ah,
menyebut kambing, aku teringat kembali dengan Nacinta. Di Lapangan Pahlawan
tadi, dia bersama Ega. Mereka tampak begitu mesra meski dia bilang tidak punya
hubungan apa-apa dengan Ega. Semua hal dimulai dari nol. Semua kepunyaan dimulai
dari tidak punya apa-apa. Menyebutku terlalu tua padahal Ega berumur sama
denganku adalah penghinaan ketika dia memilih untuk menebeng di belakang Ega.
“Uban-ubanmu itu tidak bisa berbohong,” canda Nacinta malam itu. Tapi candaan
itu melukai harga diriku, meski memang uban-uban itu seperti amoeba, yang
membelah diri dengan cepat. Asal tahu saja, uban-uban itu adalah kaffarat
dosa-dosa. Satu uban telah tertutup pula satu pintu dosa. Semakin banyak uban,
aku semakin pendosa dan Tuhan semakin sayang kepadaku.
“Ada makhluk-makhluk
misterius di Jaran Susang itu, Pring. Beberapa kesaksian menyebutkannya,” ujar
Randal melanjutkan cerita. Di sisi kanan, laut lepas di selatan Sumbawa mulai
terlihat. Ombaknya menunjukkan ciri khas ombak pantai selatan yang selalu
bersemangat. Biru. Aku mengabaikan ucapan Randal itu sejenak dan membayangkan
perahu-perahu barangkali pernah berlabuh di pantai dengan ombak seganas itu.
Aku
masih berpikir bawah katak-katak itu bunuh diri. Hidup setelah reformasi sudah
sedemikian kejam. Katak-katak itu pasti juga merasakan betapa peliknya
kesenjangan perekonomian, harga-harga yang terus melambung tinggi melampaui
angka inflasi di makroekonomi, atau kehidupan percintaan yang tak selalu mulus.
Aku
bergidik membayangkan aku juga akan bunuh diri dengan cara yang sama seperti
katak-katak itu. Dengan sengaja aku akan berdiri di tengah jalan, menanti mobil
berkecepatan tinggi menabrakku, melindasku, dan aku mati. Ya, aku mati.
Barangkali kematian lebih indah ketimbang hidup dengan cinta bertepuk sebelah
tangan.
“Kita
sudah mau sampai,” ujar Randal. Randal membelokkan motor ke kanan di sebuah
pertigaan. Jalan kerikil yang baru basah karena hujan semalam digantikan dengan pasir. Pasir itu membuat roda motor
sulit beranjak, ketidaktepatan pengendaraan akan membuat roda semakin
terperosok ke kedalaman pasir itu. “Turun, Pring, turun…” pinta Randal
Patisamba. Dengan segera aku meloncat dari jok dan motor itu pun dapat bergerak
lebih mudah.
Dua
buah pohon menarik perhatianku. Banyak kupu-kupu beterbangan di sekitarnya.
Randal yang mengetahui ekspresiku segera berkata, “Itu pohon kupu-kupu, Pring.
Kau mau jadi kupu-kupu?”
Tak
kujawab pertanyaan itu dan tak kubahas lebih jauh maksudnya. Aku mengikuti
langkah Randal di jalan setapak dan betapa, pemandangan yang kusaksikan
selanjutnya adalah pantai terindah yang pernah kulihat selama hidupku. Hamparan
pasir putih, ombak yang menari, dan batu karang mirip-mirip di Uluwatu menjadi
lanskap sempurna yang diciptakan Tuhan. Seorang perempuan melambaikan tangan ke
arahku. Ia memamerkan senyum bintang lima yang membuat segala kecemasanku
menguap dengan segera. Nacinta. Lebih melegakan karena tidak ada laki-laki di
sekitarnya.
Nacinta adalah gadis tercantik di grup Adventurous Sumbawa, tapi dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya, atau lebih ke kakaknya. Kadang-kadang beginilah nasib hati bila sudah terjebak zona pertemanan. Friend zone. Tak seperti yang pernah diucapkan Shakhrukh Khan di Kuch-kuch Hota Hai, cinta adalah persahabatan.
Ketimbang
pantai itu, langkah kakiku bergerak ke arah Nacinta terlebih dahulu. Dia dan
beberapa teman perempuan yang lain sedang menyiapkan makan siang buat kami.
Inilah menariknya Adventurous Sumbawa. Kami akan makan sama-sama di tempat
tujuan sambil menikmati alam.
Beberapa
bumbu sudah disiapkan, ikan-ikan yang sudah dibersihkan, kayu bakar yang sudah
dikumpulkan, tetapi mataku tertuju pada sesuatu di dalam baskom kecil.
Bentuknya lunak dengan sudah dipotong kecil-kecil. Aku penasaran dan bertanya
kepada Nacinta, “Yang itu apa, Nacinta?”
“Oh
ini, ini daging katak. Belum pernah coba? Enak lho,” jawab Nacinta santai
sambil mencelupkan tangannya ke dalam baskom, menaburinya dengan garam, dan
menguleninya dengan seksama.
Sesuatu
bergerak mendesak dari dalam perutku.
Aku
mendadak mual.
(2015)
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
Comments