Alienasi
“Bagaimana
rasanya punya pacar alien?”
Pertanyaan itu disusul dengan
sejumlah pertanyaan lain yang berdengung seperti lebah. Kilatan lampu dari
kamera DSLR milik para pemburu berita menimpa wajah Teruna tanpa belas kasihan.
Ia ingin menjawab seperti artis D yang baru saja terpilih menjadi anggota
legislatif, tetapi apa gunanya sebuah konferensi pers bila ia tidak memberikan
satu pun jawaban memuaskan.
Keadaan seperti ini bukanlah hal
baru bagi Teruna. Hanya saja, biasanya Teruna berada di posisi penanya.
Pekerjaannya sebagai wartawan sebuah majalah baru-baru ini juga membuatnya
bertemu Kim Hyun Soo. Alih-alih bertanya yang serius, terpesona pada kulitnya
yang secerah buah pir, Teruna malah bertanya, “Apakah kamu benar-benar seorang
alien?”
Teruna tidak tertarik
membicarakan penjiplakan drama itu. Wartawan lain meributkannya. Tidak mungkin
Kim Hyun Soo dibandingkan dengan Morgen. Kejantanannya berbeda. Teruna hanya
berharap, SBS akan menuntut televisi yang menyiarkan sinetron tersebut untuk
tidak disiarkan lagi.
~
Begitu mendengar Teruna akan
mengadakan konferensi pers, saya begitu gelisah. Saya ingin mengasingkan diri
sejauh-jauhnya. Beruntung, pada saat yang sama, anak-anak Adventurous Sumbawa
memberikan undangan perjalanan ke Moyo.
Saya sendiri kaget ketika suatu hari
menyalakan tivi, melihat berita dan dikatakan bahwa seorang gadis berusia
sekitar 27 tahun tertangkap kamera sedang digendong seorang lelaki lalu
menghilang tiba-tiba. Beberapa detik kemudian, kamera CCTV yang lain menangkap
sosok yang sama dengan jarak yang begitu jauh berbeda. Tidak usah banyak
penyelidikan, saya langsung mengenali sosok perempuan itu adalah Teruna. Dan
laki-laki yang mukanya bercahaya adalah si alien. Alien itu pernah jadi sahabat
saya.
Hati saya berakhir saat itu juga.
Tidak mungkin saya bersaing dengan seorang alien. Tidak ada yang spesial di
diri saya. Sama tidak spesialnya dengan martabak di penjuru Indonesia meski
menggunakan merk “martabak spesial” di promosinya.
“Apa kamu akan kuat berpacaran
dengan alien seperti dia?”
“Cinta selalu memberi kita kekuatan.”
Dialog terakhir kami. Cinta tidak
selalu memberi kita kekuatan. Mencintaimu membuat saya semakin rapuh.
Pagi seharusnya indah ketika kamu
tidak tahu diam-diam saya begitu merindukanmu. Tapi pagi ini rindu tampak
seperti ketiadaan ombak di bibir pantai. Laut ketenangan. Sampah-sampah plastik
mengambang. Saya lebih menyukai laut yang berombak, lebih normal. Segala hal
yang tampak tenang lebih menakutkan. Dia bisa berubah jadi monster ganas.
Misalnya beberapa saat sebelum tsunami, laut akan terseret jauh dari bibir
pantai dan jauh lebih tenang dari biasanya.
Kami
berkumpul di Pantai Baru, Desa Labuhan. Dua kapal sudah disiapkan. Teruna pasti
sedang mempersiapkan apa-apa saja yang ia harus katakan. Saya tidak menyiapkan
apa-apa kecuali baju ganti dan gitar.
Randal
Patisamba langsung mengambil tempat di hidung perahu. Itu sebenarnya tempat
favorit saya juga, tapi untunglah hari ini saya tak begitu berminat memegang
pancing dan menyaksikan perahu membelah lautan. Saya ambil tempat di sisi kanan
perahu. Di sebelah saya semuanya perempuan. Belum mulai berjalan, mereka sudah
saling papo. “Pringi, senyum dong!”
Saya pun ikut terkena papo.
Apa
perasaan Teruna di hadapan kamera. Dia pernah meminta saya untuk memfotonya.
Dalam pose apa pun. Sebagai lelaki, mendengar itu, tidak mungkin pikiran tidak
menjadi kotor. Dan belum ada penjual sapu otak di toko mana saja. Teruna
pastilah tidak akan merasa nyaman saat ini. Apalagi si Alien itu sudah
menghilang. Dasar lelaki tak bertanggung jawab. Padahal sudah saya pesankan untuk
tidak meninggalkan Teruna apa pun yang akan terjadi.
Kapal
nelayan yang kami naiki mulai berjalan. Saya mulai mengencangkan jaket, menebar
pandangan, dan melihat salah satu perempuan yang duduk di sebelah kanan
memikat. Kamu. Gigimu gingsul seperti Agnes Monica. Bedanya, bila Agnezmo
terskandal nipple slip di video klip Coke Bottle, kamu tampak manis dengan
kerudung. Saya tidak mempermasalahkan seorang perempuan setertutup apa dengan
pakaiannya, asal ia cukup terbuka di pikirannya, ketimbang sebaliknya. Saya curi-curi
pandang ke arahmu. Kamu sepertinya rela-rela saja pencuri datang menyambangimu.
Halo, kenalkan,
saya pencuri.
Apa hati kamu masih
ada di tempatnya?
Lalu
kamu menatapku, tersenyum.
Saya
hanya bisa mengenang senyummu selama dua jam perjalanan itu. Lebih lambat
setengah jam dari waktu yang direncanakan sebab mesin kapal satunya satu tidak
menyala sehingga lajunya tidak sekencang seharusnya. Penumpang lainnya banyak
yang tertidur sambil menikmati matahari pagi yang hangat. Pulau Moyo sudah
terlihat dari kejauhan. Saya tidak bisa tidur di atas laut. Kamu juga tidak
tidur di atas laut. Tertunduk, termenung, apa kamu sedang memikirkan negara?
Saya
beranikan diri untuk mengajak kamu mengobrol, “Hai...” Kaku sekali sapaan ini. “Sudah
berapa kali ke Moyo?”
“Ini
yang pertama, Mas...”
“Jadi,
ini petualangan pertamamu?”
“Sebelumnya
pernah ke Ai Loang...”
“Kamu
tahu, paling dekat ke Moyo, lewat Ai Loang. Naik dari Sea Side.”
“Iya,
tapi kan hampir satu jam perjalanan daratnya.”
“Memang,
barangkali kamu takut terlalu lama di laut.”
“Nggak
Mas, Sari suka laut.”
“Sari?”
“Iya.
Mas siapa namanya?”
Nah,
beginilah cara mengetahui nama tanpa bertanya nama. Setelah ini saya akan tahu
akun facebookmu, nomor ponselmu, PIN BBM kamu, segalanya. Tuan Alien yang terhormat, yang dapat mendengar suara sedetil apa pun
dari jarak ratusan kilometer, cobalah dengar suara hati saya ini. Kamu boleh
merebut Teruna dari pandangan saya, tapi saya sekarang akan punya Sari. Saya
akan move on dari Teruna.
~
Begitu Labu Aji terlihat, semua
orang bersemangat. Sudah pukul sembilan, Teruna akan diwawancara pukul satu
siang nanti. Kemarin Teruna berulang tahun, tapi sengaja saya tak memberi
ucapan selamat. Toh, pasti ponselnya akan dinonaktifkan. Semua orang akan
berburu kebenaran, bertanya tentang tuan alien itu. Malam tadi, Teruna pasti
mengurung diri di kamar. Hotel bintang lima yang privasinya terjaga. Saya suka
bingung juga dengan definisi privasi itu. Bila menjelang bulan puasa,
hotel-hotel melati dan wisma digerebek oleh ormas-ormas, hotel bintang lima
tidak pernah tersentuh. Padahal saya yakin, para pelacur kelas atas yang
dipakai borjuis dan birokrat kelas atas pula banyak sedang bercinta di ruangan
ber-AC dan berkasur empuk itu.
Komandan Sirajuddin memberi Komando
untuk berhati-hati menginjak dermaga. Randal Patisamba dengan sigap melompat
tanpa rasa takut. Dasar laut terlihat. Pasir putih, penuh terumbu. Padahal
hanya beberapa meter dari bibir pantai. Tapi spot snorkling paling menarik ada di Takat Segale. Saya takut snorkling. Saya takut pada keberadaan
ular laut dan bulu babi. Saya takut pada arus bawah laut meski hanya di laut
dengan kedalaman paling dalam 5 meter. Beberapa bulan lalu, lima turis Jepang
berpredikat master dive saja hilang
di Nusa Dua. Hebatnya semua bisa selamat dan terdampat di pulau-pulau kecil
puluhan kilometer dari tempat mereka menyelam.
Seusai saya menapakkan kaki di
dermaga, kamu selanjutnya. Dari gesturmu, kamu meminta pegangan. Saya berikan
tangan kanan, kamu menggenggamnya. Jadi begini rasanya telapak tanganmu. Ada
pikiran melintas, sebaiknya kamu terjatuh saja. Lalu saya akan menangkapmu,
atau menghentikan waktu sejenak seperti yang biasa Tuan Alien lakukan. Tapi
momen-momen seperti itu sangat picisan.
Kita beristirahat di rumah warga
yang sudah dikosongkan. Meletakkan tas, menaruh barang-barang yang bisa
ditinggalkan, buang air kecil dan menikmati terik matahari pinggir laut yang
digandrungi bule-bule berpigmen buruk.
Satu tower terlihat menjulang dan
sendiri. Saya sedikit penasaran di mana resor milik Amanwana. Tarifnya 1000
dolar. Lady Diana dan Doddi Al Fayed pernah menginap di sana. Sharapova juga.
Untunglah Gayus Tambunan tidak. Ia sudah puas duduk di tribun Wimbledon sebelum
tertangkap meski penjara adalah sebuah sandiwara lain. Tahanan yang punya uang
bisa dapat kamar mewah dan keluar penjara diam-diam saat malam hari. Asal tidak
ketahuan Denny Indrayana saja.
“Kamu tahu kenapa kenapa Tuhan
menurunkan Adam ke bumi?” Tuan Alien itu bertanya suatu hari. “Kalau tidak
begitu, tidak akan ada kisah cinta-mencintai...” Tuan Alien itu menjawab
sendiri pertanyaannya.
Teruna pasti sedang patah hati akut.
Tuan Alien begitu pandai merayu. Kata-katanya penuh filosofi. Tak ada perempuan
yang tak luluh.
Saya tak ingin memikirkan Teruna
lagi. Biarlah, ada kamu sekarang. Ini bukanlah sebuah pelarian. Ini harapan.
Lalu kita berjalan kurang lebih satu
jam ke Mata Jitu. Air terjun yang selama ini hanya saya lihat di foto, yang
cerita keindahannya begitu mendunia itu akan segera tampak di depan mata saya. Perjalanan
mendaki. Saya sengaja samakan irama langkah kaki saya dengan langkah kaki kamu.
Sampai-sampai jika ini sebuah lomba gerak jalan, kita akan menang dengan pasti.
“Kamu kuat mendaki?”
“Insyaa Allah, Mas...”
“Yakin?”
“Kalau pun tidak, kan ada Mas Pringi
yang akan membopong Sari...”
Wah, alamat. Terik matahari yang
masih gigih menembus celah dedaunan tidak begitu mendera kulitku. Memandangimu
saja sudah sejuk rasanya. Seharian kemarin, padahal badan saya tak enak, tidur
saya pun tak nyenyak. Memikirkan Teruna, memikirkan dia sedang menangis, dada
saya sesak. Untunglah kemarau setahun, dihapus hujan sehari. Luka sepanjang
umur pun bisa terobati dengan cinta pandangan pertama. Kamu.
Jantung yang berdetak lebih cepat,
keringat yang menetes seperti berada di kran bocor, dan tenggorakan yang
semakin haus adalah kelelahan. Kamu tidak sekali pun mengeluh. Malu dong kalau
saya mengeluh dan meminta beristirahat. Untunglah, hampir sampai di batas
stamina, suara air terjun itu terdengar.
Selamat datang di Hutan Buru Pulau Moyo. Kita pun berfoto di sana. Saya
sudah berhasrat ingin mencemplung ke
air terjun itu sebelum Komandan Sirajuddin berkata untuk melanjutkan perjalanan
ke Kolam I. Tidak jauh. Hanya 200 meter. Dua ratus meternya orang Sumbawa bisa
lebih dari satu kilometer.
Dan Komandan Sirajuddin benar
adanya, hanya sekitar 200 meter dan surga yang ditinggalkan Tuhan di dunia itu
salah satunya ada di Pulau Moyo. Diberkahilah orang-orang yang mengungsi dari
Sumbawa dan menemukan Pulau Moyo di zaman Soekarno demi menghindari pajak. Kolam
berair hijau berkilauan seperti zamrud, beralaskan batu kapur terbentang luas.
Teksturnya seperti terasering. Diornameni daun-daun menguning yang jatuh
tertiup angin. Saya melihat senyummu merekah. Surga di depan mata, dan bidadari
ada di samping saya. Meski katanya, terjemahan yang tepat untuk wanita surga
bukanlah bidadari (angel), melainkan
perawan (virgin).
Randal Patisamba memang orang yang
paling berinisiatif. Dia membuka baju dan langsung melompat ke kolam itu. Saya
tidak membuka baju, malu pada lipatan lemak di perut. Saya langsung menggamit
tangan kamu. “Ayo!” Dan kita kembali menjadi anak kecil yang lugu dan tak
malu-malu di hadapan air.
Buuur!
Tubuh
kita adalah batu yang dilempar. Tubuh kita adalah kanak-kanak abadi yang tak
akan takluk pada permainan zaman kini—mata yang selalu berada di depan layar,
dan jempol yang tak habis berolahraga melebih waktu-waktu lari pagi. Surga
seharusnya cukup seperti ini. Keindahan alam yang tidak ada duanya, dan seorang
kekasih yang setia mencintai, tak menua dan abadi, meski saya sendiri tak
yakin, jika emosi masih ada setelah kehidupan ini, apakah cara hidup yang
selalu bahagia itu adalah kebahagiaan, atau memicu kebosanan? Kebahagiaan
seperti ini ada karena upaya dan ketahanan dari perjalanan, karena tenaga dan
air mata yang terkuras untuk menghadapi setiap tantangan.
“Pringi...
Pringi...”
Ada
suara laki-laki memanggil nama saya. Saya menoleh ke kamu yang berenang di
samping saya. “Sari, kamu dengar suara itu?”
Kamu
menggeleng.
“Pringi...
Pringi... dia tak akan mendengar aku. Aku hanya berbicara padamu. Jadi, tanpa
aku, apa kamu sudah cukup bersenang-senang?”
Ini
suara yang begitu kukenali. Saya melihat ke atas pohon. Di setiap cabang. Di
setiap dahan. Dan... dia, Tuan alien, ada di salah satu pohon yang tinggi,
hanya memakai celana pendek, tubuhnya berkilau lebih baik dari wajahnya sebelum
kembali berkata, “Apa kamu lupa aku menyukai tempat-tempat yang indah nan sepi
untuk mengasingkan diri?”
~
“Bagaimana rasanya bersahabat dengan
alien?”
Pertanyaan ini tidak menarik. Teruna
mengirimkan pesan singkat yang saya baca malam sebelum kepulangan dari Moyo.
Tower menjulang itu ternyata tower milik sebuah provider seluler. Ada sinyal
yang cukup baik di Pulau Moyo, bahkan mendapat EDGE.
“Kamu
bahkan lupa ulang tahunku, ya?”
“Kamu
juga lupa katanya ingin membuatkan puisi terindah buatku di hari ulang tahunku?”
“Kamu
juga lupa, kamu pernah bilang, sebagai apa pun kita, kamu akan tetap menemaniku
bicara?”
Saya
tak ada bisa menjawab satu pun pertanyaannya. Tuan Alien itu sekarang sedang
naik perahu bersama saya. Identitasnya tentu tidak diketahui orang-orang. Dia
mencuri pandang ke arah kamu, saya tahu itu. Kekhawatiranku kemudian terbukti
ketika dia berbisik, “Perempuan yang bersamamu tadi itu cantik, Pringi... Dia
mirip cinta pertamaku.”
(2014)
Comments
Rasa sebal yang berujung karya yak! (^^)b
Rasa sebal yang berujung karya yak! (^^)b