Pembunuh Ajidarma (Not Finished)




Ajidarma meninggal. Sebuah luka sedalam lima senti meter ditemukan di dadanya. Tetapi bukan luka itu, bukan luka sedalam lima sentimeter itu yang ditengarai sebagai penyebab kematian Ajidarma.
“Bahkan luka itu tidak sedikit pun mengenai jantungnya…”
“Dia juga tidak kehabisan darah!”
“Setahuku, Ajidarma itu kebal senjata?”
Desas-desus kematian Ajidarma merebak seperti L’Eau Bleue D’Issey pour Homme milik Issey Miyake. Koran-koran memuatnya sebagai headline. Para penulis obituari turun gunung. Televisi, dari pagi hingga kembali dini hari tak henti-hentinya memuat sosok Ajidarma mulai kisah hidupnya, cerita kontrovesialnya saat berani menolak sebuah penghargaan dengan hadiah uang berlimpah atau drama percintaannya yang selama ini begitu rahasia. “Alina itu pasti cinta pertamanya,” timpal seorang tokoh yang mengaku baru kali pertama membaca cerita-ceritanya. Sebuah stasiun televisi swasta bahkan melakukan liputan investigatif, memaparkan dugaan-dugaan tentang penyebab kematian Ajidarma. “Saya tidak tahu teori konspirasi apa yang melatarbelakangi ini. Tapi saya meyakini, kematian Ajidarma ini semata pengalihan isu.” Anak muda dari LSM antikorupsi berapi-api menyatakan pendapatnya. Tampak sekali ia resah, berita kematian Ajidarma menggeser isu-isu korupsi yang sebelumnya hangat dibicarakan. “Coba kita telaah, berapa juta masyarakat yang lupa dan tidak peduli, hari ini sidang kasus wisma atlet tengah dilangsungkan?” Ia menyindir persidangan seorang artis cantik ibukota yang kebetulan jadi wakil rakyat.
Para penggemar Ajidarma berkumpul di bundaran HI. Masing-masing mereka membawa karangan bunga putih. Hari itu tidak mendung. Cuaca cerah sebenarnya. Hanya saja langit tidak pula berwarna biru. Padahal masih pukul tiga, langit mulai tampak kemerah-merahan. “Ajidarma mengirimkan senja kepada kita semua!” Mereka bersorak.
Kemacetan mulai terbentuk. Thamrin hingga Soedirman, kendaraan terpaksa merayap. Orang-orang yang mengantri di Harmoni, harus menunggu transJakarta satu jam sekali. Bahkan ke arah Kemayoran, jalan Garuda otomatis nyaris tidak bergerak. Hal itu diperparah karena palang pintu kereta api di dekat stasiun mengalami kerusakan. Seorang pegawai Ditjen Perbendaharaan di Wahidin II menggerutu, “Duh, gara-gara Ajidarma hari ini aku harus pulang di atas jam sembilan malam lagi. Daripada kena macet di jalan....” Ia harus berpura-pura lembur meski tahu sia-sia karena anggaran untuk lembur dibagi rata ke semua pegawai.
Ketika dimintai keterangannya, juru bicara presiden mengatakan hal seperti ini wajar terjadi. “Kita boleh berduka untuk satu hari, tetapi esok kita harus melupakan kesedihan ini,” ujarnya. Juru bicara presiden di bidang penanggulangan bencana itu menambahkan, “saat ini Presiden sedang membikin lagu untuk mengenang jasa beliau. Insyaallah bulan depan albumnya sudah bisa dinikmati rakyat Indonesia.”
Nyatanya, prediksi itu meleset. Keesokan harinya, makin bertambah massa yang datang ke bundaran HI. Seseorang di antaranya membawa marah merah. “Maklum, bunga warna putih di Jakarta dan sekitarnya sudah habis diborong pengusaha. Biasa lagi cari muka… dengar-dengar dia mau nyalon Presiden 2014? Eh…”
Maka, Thamrin menjadi lautan manusia. Mereka menangis. Mereka membawa spanduk, berteriak-teriak, “Cepat usut tuntas kematian Ajidarma. Kami tidak mau polisi yang menuntaskan kasus ini. Polisi tidak bisa dipercaya. Huuu…” Kebetulan Kapolri sedang menonton tayangan itu di ruangannya. Dia menggebrak meja. Mejanya itu retak. “Apakah polisi sudah sedemikian tidak dipercaya?” Di dalam hatinya dia menangis.
Di twitter, Ajidarma menjadi trending topic. #Ajidarma bahkan sudah dua hari bercokol di urutan teratas. Rio Ferdinand yang kerap kali mengomentari hal-hal yang terjadi di Indonesia terutama saat final Piala AFF di Bukit Djalil lalu turut berkata, “Ajidarma? I should read his works too…” Ajidarma? Seharusnya aku juga membaca karya-karyanya. Ada pula yang berkomentar negatif, “Ah, bukannya dia pernah memplagiasi Tolstoy ya?” Komentar itu dijawab penggemarnya, “Itu bukan plagiat, bego! Coba kamu baca Matius 6: 7-8 dan Matius 14: 30-31.” Dia tidak menjelaskan lebih panjang. Twitter cuma memuat 140 karakter.


Comments

Anonymous said…
ini fiksi kan bikin kaget aja
Unknown said…
ini fiksi kan bikin kaget aja