Dua Sajak Sederhana Tentang Rindu

I.

Ketika kumulai sajak ini, udara berhenti
bertiup. Tapi Kau terus berada di dalam degup.
Semula aku kira kegelisahan yang kurasakan
tidak akan pernah terjawab. Udara yang lembab,
sisa hujan semalam, mungkin tangismu.

Kadang aku bayangkan bila Kau tiada,
berapa Waktu yang sanggup tertahan di jantung
hatiku?

Sebab cinta telah menjadi milikmu. Segala
yang kuhirup berbau kelopak mawar yang mekar
dari ujung lidah Kau.

Kini, ketika aku rindu, tak ada yang dapat
kulakukan selain menuliskan sajak cinta yang tak
pernah cukup. Seolah sebuah kendi yang meneteskan
air, namun tak pernah habis.


II.


Jadi jauh, bayangan yang pernah Kau tinggalkan.
Aku sudah bunuh suara seruling di padang rumput itu,
masihkah Kau bersedih? Matahari tinggal satu kilan,
tidak ada yang perlu disesali.
Barangkali masih ada keinginanmu mengejar angin
yang pandai bersembunyi di ceruk akar, menjadi jalan
bagi yang kusebut seseorang belajar menepuk dahan,
mematahkan tulang, memenggal leher kemudian
menetes sungai-sungai yang rindu kembali ke muara.

Aku jadi ingat, surat terakhir yang Kau tulis,
terlampirkan tangis. Berapa sayatan yang coba meraba
kedalaman dadaku?

Bagi hutan, yang pelan-pelan mulai terkikis, kerinduan
tidak pernah baka. Pengembara yang tersesat mencari
sisa ingatan juga kehilangan bayangannya.

Berhentilah, barangkali masih ada ranting yang
dipatahkan menuntun jalan kembali ke lembut ilalang,
ke lenguh gembalaan yang setia menanti
tanpa Kau.

(2011)

Comments

Popular Posts