Tiga Catatan Terakhir, Jurnal Bogor 18 April 2010

Cerpen ini adalah hasil interpretasiku atas puisi Aan Mansyur berjudul sama

http://www.jurnalbogor.com/?p=96003

Mereka Bilang Aku Kunang-Kunang

Seharusnya aku ikut mati bersamamu. Seharusnya aku tak lari meninggalkanmu. Seharusnya aku menggendongmu di pundakku ketika aku melihat kau yang tiba-tiba terbaring di tengah kerumunan orang-orang yang berlarian. Aku kerumunan itu. Aku orang-orang yang tak mampu menyembunyikan ketakutan. Aku orang-orang yang takut airmataku sendiri akan membunuh atau membuatku menggelepar-gelepar melebihi rasa lapar yang sudah aku koar-koarkan.

Di Jepang, musim Sakura belum lama berakhir. Dua minggu di awal April menandai musim semi dengan mekarnya kelopak bunga sakura. Mereka bilang itu adalah kelopak dari mata para dewa yang menitikkan kasihnya ke dunia. Kemudian kasih itu laun menjadi cinta di akhir tanggal, ketika kelopak-kelopak yang semula dominan putih berubah warna menjadi merah jambu. Aku ingat kau mengungkapkan itu sebelum kita berdiri di antara lautan orang-orang. Lalu kau mencium ujung-ujung tanganku. Aku tidak pernah tahu kalau itu akan menjadi ciuman terakhirmu untukku.

“Aku ingin sekali menemukan semanggi berkelopak empat, An…” kau berkata setalah ciuman itu. Aku diam mendekap pundakmu.

“Bukan Sakura?” aku bertanya.

“Ini dua hal berbeda, An. Kabarnya semanggi berkelopak empat mampu mengabulkan keinginan kita. Seperti bintang jatuh. Seperti doa-doa di kuil saat awal tahun baru. Seperti koin-koin yang dilempar di air mancur Roma…” kau bergelayut manja.

“Lalu apa keinginanmu?” aku menatap matanya.

Sesungguhnya aku tak pernah menemukan mata yang berbinar-binar seperti matanya. Mata yang jujur seutuhnya, tidak pernah berpura-pura. Mata yang membawa laut yang diam dan dalam, namun dapat menjadi ombak yang melumat.

“Aku ingin semua ini selesai, An. Secepatnya. Biar sejarah, suatu saat, akan mencatat tiga puluh tahun lebih ini adalah derita sebuah bangsa yang terkurung tirani. Biar segala yang sudah terpenjara itu bisa bebas menyuarakan suaranya. Biar aku dan kau bisa merajut senyum ketika melihat sebuah reformasi telah membebaskan negeri ini dari ketidakadilan, dari ketidakbebasan, An…” kau menjawab dan kulihat ada api yang menyala di matamu.

Akan tetapi, yang aku mengerti kemudian, api yang menyala di matamu malam itu telah berpindah ke mataku ketika aku saksikan kau terbaring tetapi bukan tidur. Tetapi bukan pula bersandiwara. Aku berteriak-teriak memanggil kau yang tergeletak begitu saja dan tak mampu menghindari ijakan orang-orang. Aku tidak pula pernah tahu, ketika semua ini selesai, tak pernah ada yang mengaku sebagai seseorang yang telah menyarangkan peluru di matamu. Mata yang begitu aku cintai itu.

Dari sekian banyak orang berpakaian hitam hari ini, harusnya akulah yang memakai pakaian paling hitam. Tetapi, aku tidak berpakaian hitam. Aku hanya memakai kacamata hitam sambil memejamkan mataku ketika aku tahu aku memang sudah tak dapat menyentuhmu lagi. Dan diam-diam aku takut, dari sepasang mataku yang memejam ini akan beterbangan jutaan kunang-kunang. Kunang-kunang kuning seperti daun lerai dari ranting.1


Mereka Bilang Aku Patah Arang


Tiba-tiba aku jatuh cinta melebihi seluruh jatuh cinta yang pernah menyakiti dadaku.2 Ranting-ranting patah. Jutaan kunang-kunang yang berhamburan dari balik mata tak lagi pernah kembali. Sebenarnya ingin sekali aku menyampaikan kata cinta ke telingamu, tetapi aku tak lagi memiliki suara. Malah suaramulah yang kembali terngiang-ngiang di telingaku.

“Negeri ini membutuhkan orang-orang yang berani bersuara, An…” kau berkata di malam yang sama sebelum kau terbaring.

“Pada kenyataannya, sudah banyak orang-orang berani yang hilang, mati, dan tinggal nama. Banyak pula tubuh-tubuh tak dikenal ditemukan di jalan-jalan sepi, di semak-semak, bahkan dikubur hidup-hidup.”

Aku laki-laki yang memiliki keraguan. Aku memang takut sekali jika namaku menghiasi kematian esok hari. Aku takut jika kemudian aku pulang dengan tubuh tinggal kulit dan tulang. Namun, sejak aku bertemu dengannya, wanita bermata laut, pelan-pelan aku diyakinkan akan kebenaran dan keberanian.

“Kamu salah, An,” jawabmu pelan dan tersenyum, “mereka tidak pernah mati. Mereka justru membangkitkan orang-orang mati. Seperti aku. Seperti kamu. Seperti puluhan ribu orang yang berkumpul malam ini dan jutaan orang lain di luar sana yang menyaksikan kita dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka juga pasti mengharapkan perubahan, An… Itulah yang harus kita perjuangkan!” lanjutmu seperti nyala lilin di dalam kegelapan hati. Membuatku merasa aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia ini karena telah ada seorang wanita berani melebihi masa lalu manapun.

Sekarang, di dalam sana, kau pasti sedang asik membayangkan dirimu telah menjadi salah satu yang menghidupkan kematian orang-orang. Kematian hati yang membuat negeri ini tak berkembang. Kematian informasi yang membuat rakyat mudah dibodoh-bodohi, ditakut-takuti, dan diatur seenak jidat dengan peraturan yang menjerat. Bukan melindungi. Bukan pula melayani.

Setelah semua itu berlalu, aku baru sadar, ternyata aku memang benar mencintaimu dan kehilanganmu adalah sakit hati yang paling pedih yang pernah kurasakan. Seharusnya, aku mencium bibirmu lama-lama malam itu. Seharusnya aku memelukmu erat malam itu. Seharusnya aku mengikatmu dalam tenda dan tak pernah membiarkanmu pergi keesokan hari. Tetapi, terlalu banyak kata seharusnya bagi lelaki patah arang seperti aku.

Dari Sekian Kematian

Dari sekian kematian, aku mencintai kematianmu. 3

Beberapa keluarga yang menangisi anak-anaknya hari itu, pasti tidak pernah tahu ada kau yang seharusnya tercantum menjadi nama ke-18. Pun ada nama-nama lain yang tak sempat tercatat oleh media-media yang masih main aman, takut jika terlalu banyak yang mereka catat, semakin banyak pula amarah rakyat. Sekian belas saja dirasa sudah cukup untuk mewakili duka yang dalam atas betapa lalimnya sistem yang berlaku.

Aku ingin sekali menunjukkan kepadamu, di rumahku kini ada sebuah kolam dengan ikan-ikan kecil yang berenang dengan tenang. Sebenarnya ingin sekali kuciptakan sungai seperti yang pernah kau impi-impikan. Sebuah sungai kecil dengan batu-batu koral yang mengalir jernih di tiap seluk ibukota. Tidak ada sampah. Tidak ada limbah. Tidak ada air kuning yang mendadak memanggil banjir ketika hujan tengah bertandang menyampaikan salam dari gundulnya bukit-bukit di sebelah timur. Tetapi aku pikir, sudah cukup ada sungai kecil lain yang mengalir dari pori-pori kulitku, dari kedua bola mataku yang pernah kau nyalakan apinya malam itu. Tetapi, harus kau maafkan aku kini, tak ada lagi nyala api itu.

Aku memandang kerdil kematian yang kau pertunjukkan hari itu. Kematian yang klasik namun kucintai seperti laki-laki mencintai laying-layangnya yang putus sambil memandang langit lapang yang selalu haus untuk dipandang. Seperti pula kelereng-kelereng bulat yang warna-warni, dipertaruhkan dalam sebuah permainan namun bukan kemenangan yang kuraih. Atau seperti setiap hitungan petak umpet dan aku mencari sampai sore hari, tak pernah menemukan sosok teman-teman yang sudah kembali ke rumah sementara aku harus menunggu di balik pohon, berhati-hati bila ada yang mengelabui penjagaanku.
Perubahan yang kau impikan dulu hanya terjadi sebatas kulit. Reformasi yang kau gaung-gaungkan dan kematian yang kau persembahkan tampaknya belum cukup untuk membuat mereka paham bahwa kebebasan bukan sebatas bebas menyuarakan pendapat namun pendapat itu menjadi pertimbangan yang agung laiknya suara Tuhan. Tetapi yang terjadi, suara-suara itu hanyalah sekadar mampir untuk lewat dari kuping kiri ke kuping kanan.

Dari sekian kematian, aku mencintai kematianmu. Dan di ruang ini, aku saksikan rekan-rekanku sedang tertidur sementara pimpinan sidang yang malang itu berbicara sampai berbusa-busa saja. Aku kembali mencoba memejamkan mata, berharap jutaan kunang-kunang yang dulu pernah berhamburan itu kembali ke mataku.

(2010)

1, 2 Kutipan dari puisi berjudul “Tiga Catatan Kecil” karya Aan Mansyur
3 Kutipan dari puisi berjudul “Dari Sekian Kematian” karya Pringadi Abdi

Comments

Popular Posts