Sajak-Sajak di Ruang Ujian

I: Pintu
kalaulah ku buka mungkin bidadari sudah
menyambutku dengan dadanya yang pepaya
tetapi ia masih terkunci dan aku tersekap
dalam udara dingin di sekitar ini.

II: Kartu Tanda Mahasiswa
ada nama yang tergantung pasrah. bersalahkah
aku di persidangan kemarin itu dengan vonis
hukum gantung ini? padahal aku tak menyontek,
tak menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan,
bertanya pada teman-teman yang sepertinya
tunduk atau takluk pada kursi-kursi yang menekuk.

III: Kursi
kursi-kursi rapi. sesekali mata ini ingin saling
mengintip. ingin saling mengutip
seperti hujan di luar tadi yang masih berlomba
memperebutkan matahari yang masih malu-malu
mengadu rindu.

IV: Kertas
kertas kosong garis-garis ini sepertinya ingin
ditulisi. atau rindukah ia dengan mata pena
yang ahli mengkhianati udara untuk sekadar
mencumbuimu itu? aduh, apa yang mesti kutulis
sementara hati masih menyimpan gerimis yang
basah dan gelisah?

V: Pena
seperti tangan yang menjelma aksara. getar
bibir dari hari-hari sejarah---ajisaka dan
hanacaraka. lontar dan anak-anak makassar
menari-nari ia di panggung longsong, berlatar
musik-musik klasik rimbaud di ruang
satu tujuh kosong.

VI: Jam
seperti rahasia, aku begitu menasar
apa yang kau kejar dari angka-angka itu
seperti jam dua belas yang selalu mengakhiri
segalanya walau selalu ada yang memulai
jalan baru. sedikit rintihan dari detikmu itu
adalah lelah yang tak bisa kau ungkapkan
bila waktu tak kunjung dibekukan.

VII: Digul
aku masyhgul. ada yang menarikku ke pinggulmu
ukuran jumbo seperti bentuk mobil fuso. Contrario
dari inferno dante, satu dari tiga komedi terlucu
tetapi aku mengalir di tubuhmu yang terbahak-bahak itu
seperti tubuh lain yang pernah tak bisa berenang
tetapi tetap inggin menggenang di pinggulmu itu.

Comments

Popular Posts