Hitam-Putih Merpati

#1

Aku baru saja mencium langit. Kembali dari duniaku yang berada di balik awan. Ada sebuah harap yang kusembunyikan di sana. Yang kuharap suatu akan terlepas bebas meski kusadari nyaris tak bisa terwujudkan. Karena aku merpati hitam. Merpati hitam yang hanya ditakdirkan untuk sesama merpati hitam. Padahal aku telah takluk pada sesosok makhluk. Sayangnya bukan mepati hitam sepertiku. Ia merpati putih. Pujaan di
istana hatiku. Yang dalam hari-hariku selalu kupandangi dari duniaku
bersembunyi; di balik awan.

“Merpati tak pernah ingkar janji,” seperti itu ayahku berpesan kepadaku. Aku ingin menyanggah. Tapi kuurungkan demi seonggok rasa hormatku pada ayahku.

Aku ingin bertanya, apa arti sebuah janji? Toh nyatanya janji itu hanyalah janji
yang terungkap oleh nenek moyangku dulu. Bahwa kami –kaum merpati hitam- hanya akan menikahi sesama kami. Setelah sebelumnya dijodohkan terlebih dahulu oleh kaum manusia itu. Kaum yang merasa jumawa, seakan penuh kuasa. Nyatanya mereka hanya makhluk lemah.

#2

Hari ini sama seperti hari-hari belakangan dalam sebulan ini. Hari pelarianku. Karena
aku dijodhkan. Bagaimana mungkin aku harus mencintai sosok yang bahkan tak pernah kukenal dan kulihat sebelumnya? Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya bung! Kenapa tak biarkan kehendak bebas melenting sempurna? Jangan berikan tumbukan di jalurnya. Toh, nantinya tumbukan akan melahirkan momentum, p=m.v, begitu kata kaum manusia, kuintip di suatu ketika pelajaran yang namanya Fisika.

Aku berani bertaruh, besok tak akan jauh berbeda dari hari ini. Ayahku yang kolot itu pasti akan kembali memaksaku menemui si Ms. Nonsense yang tak kukenal itu.
Pastinya bakal keluar lagi bujukan-bujukan kuno dari mulutnya itu. “Sebenarnya apa sih yang jadi masalah dari semua ini? Lihat ayah dan ibumu! Kami juga dijodohkan sama seperti halnya kamu. Dan nyatanya cinta bersemi di antara kami berdua. Melahirkan kamu. Melahirkan adik-adikmu. Yang namanya cinta itu akan tumbuh seiring kebersamaan. Weting trisno jalaran soko kulino, begitu kata kaum manusia Jawa.” Ya ya ya, aku menganggukkan kepalaku sebagai formalitas belaka.

#3

Aku merpati hitam. Kini kembali bersembunyi di balik awan. Sekali lagi aku mengintai pujaanku; merpati putih. Ia memang benar sempurna adanya. Matanya yang bening, bulu-bulunya yang halus lembut memancarkan keindahan, dan pada setiap kepakannya seakan menebarkan cinta. Tapi semakin jauh harapku untuk memilikinya. Entah bagaimana ku bisa membujuk keduaorangtuaku agar menyetujui pendapatku ini.

Kembali kukepakkan sayapku. Mengusir sayu yang sejak tadi menyelimuti. Dibawah sana, mahadewi gravitasi menyumpah serapahku karena tak terikat diriku olehnya. Aku sungguh bingung. Kenapa rasisme masih terjadi di zaman ini? Kenapa kaum merpati tak mencontoh para manusia dalam hal ini? Di sebuah Negara yang namanya Amerika misalnya, kulit hitam sudah berani dan berhasil mengekspresikan dirinya. Para penyanyi-penyanyi favoritku rata-rata berkulit hitam. Rihanna misalnya.

Aku sedikit lelah. Lalu hingap pada beringin tua yang sudah jadi tempat peristirahatanku dari saat ku belajar mengepakkan sayap. Sungguh teduh. Sesekali angin manja menggoda dengan semilirnya. Aku kembali berpikir bagaimana mewujudkan keidealisanku ini. Revolusi! Ya REVOLUSI MERPATI. eperti halnya manusia, berbagai kemajuan dicapai dengan sebuah revolusi. Revolusi industry di Eropa misalnya yang mengubah gaya hidup bertani menjadi industry. James Watt kalau tak salah. Nama dari manusia yang menjadi inspirasi revolusi ini dengan menciptakan mesin uap. Dan
kini, haruskah aku menjadi James Watt-nya kaum merpati? Mengubah gaya hidup dan tradisi yang sudah tak cocok lagi di zaman ini? Aku tersenyum. Mengembang.

#4

Esoknya segera kusebarkan woro-woro pada setiap merpati hitam. Gairah revolusi coba kukoorkan dengan penuh kesungguhan.

“Saudara-saudaraku yang terhormat, waktu telah berganti. Dan sekarang bukanlah yang dulu lagi. Apalah arti sebuah janji yang tak memiliki arti? Kita, merpati hitam, sudah saatnya mengubah prinsip dan tradisi. Tak perlu lagi menikah hanya dengan sesama jenis merpati. Hitam sudah selayaknya menyatu dengan putih!”

Aku berteriak penuh semangat. Aku pikir tadinya ucapanku akan disambut dengan standing ovation dari mereka semua. Tapi yang ada hanya keheningan. Ah, kupikir mereka hanya sedang termangu memikirkan kata-kataku barusan. Tak peduli, lantas kulanjutkan lagi.

“Saudara-saudaraku semuanya, merpati memang tak seharusnya ingkar janji. Tapi itu jika janji terebut memang penuh arti. Nyatanya tidak. Tanyakan pada pikirmu kawan, logika mana yang mengizinkan kehendak bebas dari kita terkurung dalam tirani janji? Biarkan lepas seperti saat kita terbang di langit tinggi. Bayangkan moleknya para
merpati putih. Sudah saatnya kita, sebagai generasi di zaman ini, memilih untuk melakukan persilangan dengan mereka. Melahirkan abu-abu!”

Mereka masih diam. Ada yang tatapannya kosong tak mengerti. Ada yang menatapku
rendah. Seakan aku ini hina. Seakan pemikiranku hanyalah sampah yang tak punya harga. Hingga satu per satu dari mereka pergi terbang meninggalkanku.

Semangatku surut. Tapi ternyata ada seekor merpati masih menatapku. Menungguiku. Seakan ingin menyampaikan katanya padaku.

“Wahai, terima kasih kau mau mendengarkanku. Terima kasih atas kepedulianmu dengan tidak meninggalkanku sendiri.”

“Oh Tidak, aku hanya sedang menikmati pemandangan makhluk terbodoh dan terhina yang ada di hadapanku. Mungkin takkan ada lagi pemandangan seperti ini dalam satu abad ke depan.”

Ia tertawa. Benar-benar merendahkanku. Lantas ia terbang menjauh. Meninggalkanku di sini. Sendiri.

#5

Air mataku sudah ingin mengalir. Tak percaya akan kenyataan yang baru terjadi. Tidak adakah satupun dari kaumku yang punya pikiran yang sama denganku? Hah, betapa menyedihkannya aku. Segera kuistirahatkan tubuhku di beringin favoritku. Menyenandungkan irama hatiku yang sendu. Lantas dari kejauhan terlihat sesosok merpati hitam terbang mendekat. Tampak asing bagiku. Tak kukenal. Menghampiriku.

“Ada keperluan apa engkau terbang ke sini? Aku tak sudi kau ganggu, apalagi jika hanya ingin mengejekku atas pemikiranku yang kalian bilang hina tadi!”

Aku memang masih emosi. Aku sedang ingin sendiri. Tak ingin diganggu.Tapi anehnya ia malah tersenyum lembut. Memang manis untuk ukuran merpati hitam. Meski tak sebanding dengan pujaan hatiku.

“Maaf, aku tak berniat mengganggumu. Apalagi mengejekmu. Justru aku kagum dengan
keberanianmu, dengan kegagahanmu barusan. Aku ingin mengenalmu sebagai teman. Bisakah?”

Aku diam tak menjawab. Sedikir ganjil kurasa. Meski kuakui ada perasaan bahagia menyelinap karena setidaknya ada yang ‘menganggap’ keberadaanku.

“Ah, aku tahu kau selalu hinggap di sini di sela terbangmu. Rasanya cukup pertemuan kita hari ini. Biarkanlah kau menenangkan dirimu dulu. Kapan-kapan aku akan kembali
menghampirimu di sini. Mungkin saja kita bisa berbincang hangat dengan secangkir kopi.”

Ia tersenyum. Aku pun seakan dipaksa untuk tersenyum padanya. Menganggukkan kepalaku. Lalu ia pergi, terbang ke langit tinggi.

#6

Langit masih biru. Setia dalam perjalanannya. Aku masih memikirkan ‘kehinaan’-ku. Apa yang salah dari semua itu? Mungkinkah tak cukup hanya kata? Tapi bukti! Ya, benar. Aku harus bisa membuktikan bahwa merpati hitam bisa menyatu dengan merpati putih.

Entah tertakdirkan atau tidak, di langit tinggi itu, merpati putih pujaanku sedang mengepakkan sayapnya sendiri. Segera kukerahkan segenap tenaga dan keberanian untuk menghampirinya. Menyatakan perasaan dan pemikiranku padanya.

“Wahai merpati putih, bisakah sejenak kita berbicara dari hati ke hati?”

Ia menatapku dari atas hingga ke bawah. Seakan menilai ‘harga’-ku. Ekspresinya dingin. Mungkin karena ia tak mengenalku.

“Maaf, aku tak mengenalmu. Bisakah kau tinggalkan aku?”

Aku maklum pada ucapannya. Antara merpati hitam dan merpati putih memang seakan terhalang tabir yang tinggi. Sulit untuk terlewati. Dunia kami pun tak sama. Jadi, mungkin saja ia takut dan asing padaku.

“Jujur saja, aku menyukaimu merpati putih. Aku selalu memperhatikanmu dari balik awan. Selalu memimpikanmu dalam setiap malam-malamku …”

Ia mengernyitkan alis matanya, “Bisa kau ulangi?”

“Wahai, zaman sudah berubah. Kini tradisi butuh revolusi. Tak perlu lagi terikat janji yang tak berarti. Aku ingin kau tahu perasaanku padamu. Aku mencintaimu. Aku ingin memberi bukti pada kaumku bahwa merpati hitam dan merpati putih memang bisa bersatu. Tak perlu lagi seperti halnya selama ini.”

“Wahai, sadarkanlah dirimu. Pemikiranmu itu hina. Bid’ah terkejam yang pernah kudengar. Saranku untukmu segeralah periksakan otakmu ke psikiater kaum manusia. Mungkin saja ada salah satu aksonmu yang konslet hingga tersalah pikirmu. Coba kau tatap dirimu di cermin, dan bandingkan dengan aku. Kita berbeda bung! Melihatmu saja aku sudah merasa jijik. Hitam, seperti tak pernah mandi berhari-hari. Dan aku benci hitam! Jadi sebaiknya kau kubur harapmu itu dalam-dalam di perut bumimu. Jangan pernah kau cuatkan lagi. Ya, karena kau yang tak mau pergi.maka biarkanlah aku yang pedgi. Dan jangan pernah kau intai aku lagi di balik awanmu itu!”

Ia menjauh pergi. Sementara telah lebur hatiku. Sedikitpun ia tak mau mengerti.
Aku menangis. Dan perlahan kehilangan dayaku. Kepakkanku melemah. Lalu terjatuh.

Aku merpati hitam
Baru saja mencium langit
Mengintip jeruji darimu
Pergi
Lantas tersenyum
Tapi di hatiku ada hujan*


(Awal 2008)

Comments

Popular Posts